Wednesday, May 30, 2007

Politik Cukai dan Kedermawanan Industri Rokok

Oleh: Tulus Abadi
(Ketua III Komisi Nasional Penanggulangan Masalah Merokok dan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)

Di Indonesia industri rokok begitu digdaya, bahkan jumawa. Tak hanya secara ekonomi, tapi juga sosial, politik, bahkan kultural. Saat puncak krisis ekonomi sekalipun (1997), satu-satunya entitas industri yang masih membukukan nilai laba hanyalah industri rokok. Industri lain ibarat hidup segan mati tak hendak. Ini ironi, ketika mayoritas masyarakat mengalami pailit ekonomi, sebatang rokok justru menjadi tumpahan pelarian sosial yang efektif. Pundi-pundi industri rokok terus berdenyut berkat derasnya sulutan rokok konsumen kendati fulus konsumen lesu darah.

Betapapun digdaya, toh menjadi sangat naif jika pemerintah menyanjung-nyanjung industri rokok setinggi langit hanya karena industri rokok memberikan suntikan cukai dan pajak sebesar Rp 50 triliun (2006). Menurut pemerintah, via Rp 50 triliun industri rokok berkontribusi signifikan terhadap pencerdasan bangsa dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

Benar industri rokok telah menggelontorkan "darah segar" bagi cash flow anggaran pendapatan dan belanja negara. Pendapatan cukai 90 persen berasal dari cukai rokok, sementara kontribusi alkohol/etil alkohol hanya 10 persen. Pemerintah praktis tidak berkeringat untuk mendapatkannya. Namun, ini hanyalah fenomena semu, yang secara radikal harus dipertanyakan: benarkah industri rokok berkontribusi signifikan terhadap pengentasan masyarakat miskin dan pencerdasan anak bangsa?

Tunggu dulu. Angka Rp 50 triliun harus dilihat secara lebih cerdas, kreatif, dan dengan spektrum yang meluas. Sebab, di balik angka itu, sangat boleh jadi industri rokok justru menjadi pecundang atas pertumbuhan ekonomi karena sebenarnya industri rokoklah yang mengawetkan dan menciptakan "kemiskinan struktural", di samping kemiskinan kultural yang diidap sebagian masyarakat Indonesia. Berikut adalah data tandingan untuk mematahkan argumen industri rokok adalah pengentas masyarakat miskin dan pencerdas anak bangsa.

Dari perspektif kesehatan, rokok/tembakau secara klinis terbukti menimbulkan dampak eksternal bagi kesehatan manusia. Pada sebatang rokok, terdapat 4.000 jenis racun kimia, 10 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Tak aneh jika di Indonesia, menurut Dr Soewarta Kosen (An Economic Analysis of Tobacco Use in Indonesia, National Institute of Health Research & Development, 2004), pada periode 2001 jumlah kematian yang berhubungan dengan konsumsi tembakau mencapai 427.948 jiwa atau merupakan 22,5 persen dari total kematian di Indonesia. Dahsyat!

Pada periode yang sama, masih menurut Kosen, total biaya konsumsi tembakau adalah Rp 127,4 triliun, yang digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengonsumsi tembakau, kecacatan, dan kematian dini. Angka tersebut setara dengan 7,5 kali lipat penerimaan cukai tembakau tahun yang sama, yaitu Rp 16,5 triliun. Jadi dalam hal ini pemerintah tekor alias nombok. Fenomena seperti ini juga lazim terjadi di semua negara.

Terkait dengan masalah kemiskinan, Dr Tuti Soerojo, mantan konsultan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia, mengemukakan analisis yang lebih mengerikan. Menurut dia, ketika pada 2005 masyarakat miskin berjumlah 60 juta jiwa (15 juta keluarga), ternyata 2 dari 3 laki-laki pada masyarakat miskin tersebut adalah perokok aktif. Jika harga rokok Rp 500 per batang, dan konsumsi rokok 2 dari 3 laki-laki pada masyarakat miskin tersebut minimal 10 batang per hari, hasilnya: 2/3 x 15 juta x 10 batang x Rp 500 = Rp 50.000.000.000 per hari (baca: 50 miliar per hari!). Ini setara dengan 10 ribu ton beras per hari. Dan jika per tahun, angkanya menjadi Rp 18.250.000.000.000 (baca: 18 triliun rupiah!). Bandingkan dengan subsidi pemerintah dari dana kompensasi bahan bakar minyak pada 2006 yang hanya Rp 3,6 triliun. Masya Allah!

Lebih mengerikan lagi, ternyata proporsi konsumsi tembakau pada keluarga miskin jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan proporsi biaya kesehatan dan pendidikannya. Data empiris Badan Pusat Statistik membuktikan, pada periode 1996-2003, belanja tembakau dan sirih pada keluarga miskin 7,6 persen dari total pengeluaran. Sementara itu, pada saat yang sama keluarga miskin hanya mengalokasikan 2,6 persen untuk biaya pendidikan dan 1,9 persen untuk kesehatan dari total pengeluaran (Dr Puguh Irawan, BPS, Mei 2004). Selaras dengan itu, Survei Ekonomi dan Kesehatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003) juga membuktikan keluarga miskin rata-rata mengalokasikan 8 - 9 persen pengeluarannya untuk belanja tembakau.

Berdasarkan data tersebut, seharusnya pemerintah berterima kasih kepada orang miskin, bukan kepada industri rokok. Sebab, fulus Rp 50 triliun sejatinya bukan dari orang kaya Indonesia, bukan pula dari industri rokok, melainkan dari orang-orang miskin itu. Mereka sendiri yang mengentaskan diri dari kemiskinan dan membiayai pendidikannya.

Fenomena ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Bagaimana mungkin dana orang miskin, yang slotnya sangat terbatas, masih pula "disalahgunakan" untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan merusak dirinya. Dana yang terbatas itu idealnya dialokasikan untuk belanja sembako, kesehatan, dan pendidikan. Berbagai kasus busung lapar yang menimpa keluarga miskin diindikasikan tak hanya karena mereka minim biaya untuk menyehatkan balitanya, tapi lebih karena "mismanajemen" terhadap pendapatan yang diperolehnya. Betapa tidak, jika si suami malah menggelontorkan pendapatannya untuk satu bungkus rokok per hari. Harga satu bungkus rokok setara dengan harga 1 kg telur, sangat cukup untuk membebaskan si kecil dari serangan busung lapar (menurut ilmu gizi, satu butir telur per minggu sudah cukup membebaskan balita dari potensi busung lapar!).

Jadi industri rokok bukanlah sinterklas. Justru industri rokoklah yang memelihara dan mengawetkan kemiskinan masyarakat. Industri rokok tidak lebih dari robbery yang berkedok sinterklas, dan orang-orang miskin adalah korban massalnya, bukan para the haves. Sebab, the haves hanya mengalokasikan kurang dari 4 persen total pendapatannya untuk belanja tembakau.

Pemerintah jangan terkecoh oleh lubang jebakan ini. Pemerintah bisa menggunakan instrumen yang dalam khazanah ilmu ekonomi disebut pareto optimally principles. Artinya, sebagai entitas ekonomi, komoditas tembakau tetap bisa dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi dan pendapatan negara, yaitu dengan menaikkan tarif cukai. Tarif cukai di Indonesia masih sangat rendah, maksimal 30 persen. Itu pun hanya terhadap beberapa perusahaan besar, seperti Gudang Garam, HM Sampoerna, dan Djarum. Di luar negeri, termasuk di Thailand, tarif cukainya mencapai 75 persen dari harga jual rokok. Memang, baru saja Menteri Keuangan via Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.04/2006 telah menetapkan kenaikan harga jual eceran rokok sebesar tujuh persen mulai 1 Maret 2007, dan menetapkan tarif cukai spesifik mulai 1 Juli 2007. Masih terlalu kecil persentase kenaikannya.

Pemerintah juga harus memperhatikan dampak eksternalitas tembakau tersebut. Dengan prinsip ini, pemerintah bisa mendapatkan kue ekonomi yang jauh lebih besar, dan korban atas dampak eksternalitas tembakau bisa juga lebih segmented. Implementasi pareto optimally principles harus diimbangi dengan suatu filosofi universal bahwa barang yang dikenai cukai adalah "barang berdosa" (barang yang punya dampak negatif). Cukai adalah instrumen untuk membatasi penggunaan barang berdosa tersebut. Sebagian dana cukai mestinya dikembalikan untuk penanggulangan dampak negatif rokok/tembakau. Pemerintah selama ini mengalami "sesat pikir" karena hanya mengeksploitasi cukai sebagai instrumen untuk mendapatkan segepok rupiah belaka.

sumber: Koran Tempo Edisi 9 April 2007