Tuesday, September 13, 2011

Pengendalian Dampak Tembakau Bukan Penyebab Petani Sengsara

Aktivis tuding industri rokok tungganggi aksi penolakan petani akan upaya penanggulanag dampak tembakau.

Petani berdemonstrasi, mungkin tak aneh lagi terjadi di negara yang menghormati kebebasan berekspresi. Hanya menjadi pertanyaan, apakah benar kepentingan mereka yang terganggu sehingga memicu aksi tersebut?

Pertanyaan tersebut mampir di benak para aktivis pengendalian dampak tembakau, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (30/9). Para aktivis yang tergabung dalam Tobbaco Control Support Centre (TCSC) menduga ada pihak lain yang menunggangi aksi tersebut.

Seperti diketahui, ratusan petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) berunjuk rasa pada Rabu (29/9). Tegas, mereka menolak rekomendasi terbaru yang dikeluarkan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control World Health Organization/FCTC WHO). Yaitu, pasal 9 dan 10 mengenai larangan penggunaan bahan lain selain daun tembakau dalam produk tembakau.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTI Abdus Setiawan menegaskan, jika diberlakukan akan menghancurkan sumber pendapatan jutaan petani tembakau dan cengkeh Indonesia. "Selain itu, juga bisa mengancam kelestarian industri kretek nasional," katanya.

Dia perkirakan di Indonesia, rekomendasi tersebut dapat mengakibatkan dua juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh kehilangan mata pencaharian.

Keprihatinan petani ditunjukkan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krisnamurthi pada aksi tersebut. Dia mengatakan, sesuai UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budaya Tanaman, petani dibebaskan untuk menanam tanaman yang mereka inginkan.

Kekhawatiran serupa juga didengungkan mereka ketika Kementerian Kesehatan menelurkan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Bahkan mereka menolak RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan.

Kedua peraturan tersebut segendang seirama, yaitu menerapkan kebijakan fiskal dengan nilai yang besar untuk mengurangi konsumsi rokok.

Para aktivis TCSC menyesalkan aksi tersebut. “Kekhawatiran petani tak cukup beralasan karena FCTC tak akan menggangggu kesejahteraan mereka,” ujar salah satu aktivis Kartono Mohammad dalam konferensi pers, Kamis (30/9).

Dia sebutkan, Pasal 9 dan 10 FCTC mensyaratkan bahwa industri rokok harus mengungkapkan secara terbuka kepada pemerintah, bahwa ada sekitar 600 zat adiktif berbahaya dalam rokok. “Hanya keharusan produsen menyampaikan informasi kesehatan yang harus diketahui pemerintah. Tidak ada kaitan dengan petani,” lanjut mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia itu.

Kekhawatiran petani juga dinilai berlebihan karena Indonesia belum pernah meratifikasi konvensi yang lahir pada 2008. Berarti apa yang tertuang dalam FCTC tak mengikat bagi pemerintah Indonesia. Hingga saat ini sudah terdapat 172 negara yang telah menandatangani konvensi tersebut.

Sementara Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, kedua pasal FCTC menjamin hak dasar konsumen mendapatkan informasi lengkap kandungan produk setiap batang rokok. “Ini hak konsumen, mengapa petani menolak,” ujar Tulus.

Pendapat kedua aktivis dikuatkan dengan hasil penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia yang disampaikan satu peneliti pada kesempatan tersebut, Abdillah Ahsan.

Penelitian dilakukan pada tiga provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur tahun 2008. Ketiga provinsi adalah produsen tembakau terbesar dengan kontribusi 89 persen produk tembakau nasional. Tujuan penelitian adalah mengetahui kondisi sosial ekonomi buruh tani dan petani pengelola, hubungan kerja dengan industri rokok dan pendapat petani tentang pengalihan usaha pertanian.

Kesimpulan penelitian adalah, petani tembakau belum menikmati tingkat kesejhateraan yang setara dengan melonjaknya produksi rokok dan keuntungan industri. Sedangkan upah rata-rata buruh tani perbulan Rp413 ribu setara dengan 47 persen upah rata-rata nasional.

Petani, lanjut Abdillah, memiliki posisi tawar rendah terhadap industri rokok. Itu terjadi karena kualitas dan harga tembakau ditetapkan pembeli, sedangkan petani tak mengetahui standar kualitas yang ditentukan.

Keuntungan petani pengelola, rata-rata Rp1juta per bulan selama empat bulan masa tanam tak seimbang dengan risiko usaha. Serupa kegagalan panen karena iklim, serangan hama, turunnya harga dan kewajiban membayar utang.

Menurut Abdillah, hasil penelitian menunjukkan dua dari tiga petani dan buruh tani ingin beralih usaha karena tingginya ketidakpastian. “Pemerintah harus memfasilitasi petani beralih ke komoditas pertanian lain yang lebih menguntungkan,” sarannya.

sumber: hukumonline.com

Friday, August 13, 2010

Merokok Turunkan Stres? Pikir Lagi!

Berhenti merokok memberi banyak keuntungan, dari meningkatkan kesehatan tubuh sampai kesehatan kantong. Namun bagi jutaan mantan perokok, efek penenang yang didapat dari menghisap asap tembakau jadi faktor pendorong untuk kembali menyulut rokok.

Namun, studi terkini menyatakan kebalikan: merokok meningkatkan level stres, bukan menurunkannya. Bagi perokok, stres hanya menurun pada jeda antar puntung satu dan berikutnya.

London School of Medicine and Dentistry meneliti 469 orang yang berusaha berhenti dari rokok akibat masalah kesehatan. Pada permulaan usaha, mereka kesulitan karena stres dan yakin rokok bisa membantu menurunkan kadar stres itu.

Setahun kemudian, 41 persen dari responden berhasil menjauhi rokok. Setelah mempelajari beberapa faktor, peneliti mendapati mereka mengalami penurunan kadar stres hingga 20 persen. Sedangkan responden lain yang kembali merokok tidak mengalami penurunan stres yang berarti.

Peneliti menduga pasien yang kembali merokok menderita stres akibat dorongan untuk mengisap tembakau, yang bisa muncul berkali-kali saban hari. Sementara yang berhenti memiliki kebebasan dari kebutuhan akan nikotin, satu dari sekian pemicu stres mereka.

Studi ini memperkuat temuan sebelumnya yang menyatakan perokok menderita stres antara rokok demi rokok yang mereka isap. Kadar stres itu langsung anjlok saat mereka memilih berhenti merokok.

NY TIMES | REZA M

sumber: Tempointeraktif, Kamis, 12 Agustus 2010

Monday, June 8, 2009

Mengingatkan Bahaya Rokok kepada Masyarakat: Bungkus Rokok Diberi Gambar

Pemerintah wajib melindungi rakyatnya dari berbagai penyakit akibat merokok. Salah satu cara edukasi yang paling efektif mengenai bahaya merokok adalah dengan memasang gambar visual pada bungkus rokok mengenai berbagai penyakit akibat merokok. -

”Lambatnya deteksi dini kanker paru pada perokok adalah karena gejalanya tidak spesifik dan perokok tidak percaya bahwa merokok dapat mengakibatkan kanker paru,” kata ahli paru, Dr A Hudoyo, saat dialog interaktif ”Asap yang Mematikan dan Pendidikan Kesehatan” di Jakarta, Sabtu (6/6).

Pada dialog yang diselenggarakan oleh Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) ini, Ketua Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Pusat Prof Dr Faisal Yunus PhD, SpP(K) mengatakan, sembilan dari 10 penderita kanker paru adalah perokok. Belum lagi penyakit paru obstruktif kronik yang tidak bisa disembuhkan, hanya bisa diperlambat laju penyakitnya dengan berhenti merokok.

Dialog yang digelar untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia memandang perlu bahwa pemerintah harus segera melindungi warga masyarakat melalui pemahaman bahaya merokok.

”Salah satu sarana informasi yang efektif adalah peringatan kesehatan di bungkus rokok berbentuk gambar yang jelas, cukup besar dengan pesan tunggal dan diganti secara periodik,” kata Ketua TCSC-IAKMI Dr Widyastuti Soerojo MSc.

Sekjen PDPI Pusat dr Prasenohadi PhD, SpP mengatakan, kecenderungan umur memulai merokok saat ini menjadi semakin muda. Jika tahun 1995 rata-rata umur memulai merokok pada usia 19 tahun, berdasarkan survei tahun 2004 rata-rata usia memulai merokok 17 tahun. ”Kondisi ini juga menyebabkan umur penderita kanker paru cenderung semakin muda,” kata Prasenohadi.

Selain usia penderita kanker paru semakin muda, jumlah penderita juga semakin meningkat. Mengambil contoh di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta Timur, jumlah penderita kanker paru yang dirawat tahun 2004 tercatat 408 orang dan 2008 meningkat menjadi 709 orang atau meningkat 74 persen selama empat tahun terakhir.

Kelahiran prematur

Mantan Menteri Kesehatan Prof Dr dr Farid Anfasa Moeloek SpOG yang kini menjadi Ketua Komnas Pengendalian Tembakau mengatakan, paparan asap rokok pada ibu hamil berbahaya bagi janin dan mengakibatkan kelahiran prematur. Selain itu juga menyebabkan gangguan pertumbuhan, termasuk perkembangan otaknya, IQ rendah dan tidak mungkin menghasilkan generasi yang prima.

Selain itu, asap rokok pun bisa menjadi penyebab penyakit jantung. Sayangnya, peringatan kesehatan berbentuk teks yang ada sekarang ini tak memotivasi warga masyarakat untuk menghindari rokok.

”Produsen rokok domestik memproduksi dua versi bungkus rokok, yaitu versi bergambar untuk rokok yang diekspor ke Singapura, Brunei, dan Malaysia, sedangkan untuk memenuhi hak masyarakat Indonesia cukup dengan peringatan versi tulisan. Alasannya, karena Indonesia belum memiliki kebijakan mengenai pelabelan dalam bentuk gambar,” kata Widyastuti.

Berkaitan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2009, Komunitas Pengendalian Tembakau yang tergabung dalam Jaringan Pengendalian Tembakau Indonesia mendesak pemerintah segera mengeluarkan kebijakan peringatan kesehatan berbentuk gambar di semua kemasan rokok yang luasnya 50 persen dari permukaan lebar depan dan belakang bungkus rokok, letaknya di bagian atas, diikuti tulisan yang menjelaskan gambar dan diganti secara periodik.

Di samping untuk memenuhi hak konsumen terhadap informasi yang jelas dan benar tentang bahaya merokok, kebijakan ini sekaligus mendukung tercapainya kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. (LOK)

sumber: harian kompas edisi Senin, 8 Juni 2009

Sunday, May 24, 2009

Surat Terbuka untuk Petani Tembakau

Tak ada komoditas yang paling dipuja dan disembah di se antero negeri ini, selain tembakau. Produk ini disakralkan begitu rupa, bak dewa saja. Tak hanya oleh Pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk media masa. Tak heran jika komoditas ini dianggap “juru selamat” atas ekonomi nasional, yang hingga kini masih lesu darah. Saat krisis ekonomi 1997, industri rokok yang masih menangguk untung. Kini di tengah hantaman krisis ekonomi global, posisi orang terkaya di Indonesia pun masih ‘dikangkangi’ oleh taipan perusahaan rokok. Tidaklah aneh jika isu pengendalian tembakau (tobacco control) di negeri ini selalu termarginalisasikan. Pengendalian tembakau acap menjadi kambing hitam atas isu bangkrutnya industri rokok yang mengakibatkan PHK masal, plus akan menggulung eksistensi petani tembakau.

Tudingan semacam itu jelas hanya isapan jempol, didramatisasi dan kental suasana politicking-nya. Tak ada fakta, baik secara akademis dan atau empiris, bahwa pengendalian tembakau mengakibatkan “kiamat ekonomi” bagi suatu negeri.

Mau bukti? Hasil kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2008) telah membongkar tabir yang sesungguhnya, bahwa kontribusi ekonomi industri tembakau tidaklah signifikan, bahkan sangat kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), industri tembakau bukan penyerap tenaga kerja besar di tingkat nasional. Bahkan, industri ini hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Fakta juga menunjukkan, industri rokok berkontribusi kurang dari 1 persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an, hingga kini (bandingkan, misalnya dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4%, atau sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6 persen). Tren menurunnya penyerapan tenaga kerja akan terus terjadi, karena industri rokok melakukan mekanisasi. Jutaan buruh, yang mayoritas perempuan, secara perlahan tapi pasti akan diganti dengan mesin-mesin canggih. Janji PT Philip Morris Internasional saat mengakuisisi 94 persen saham PT HM Sampoerna, untuk tidak melakukan mekanisasi, juga diingkari.

Bagaimana pula dengan kontribusi pertanian tembakau dan nasib petani tembakau itu sendiri?

Lagi-lagi, masih mengutip hasil kajian Lembaga Demografi UI dan BPS, jumlah petani tembakau tidaklah signifikan, karena hanya 1,6 persen (684.000) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan 0,7 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia.. Klaim Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) bahwa petani tembakau di Indonesia berjumlah 22 juta orang, adalah bohong belaka. Dari jumlah yang tidak signifikan itu pun, kondisi sosial ekonomi petani tembakau juga tidak menggembirakan, bahkan mengenaskan. Misalnya, 69% petani tembakau hanya tamat SD atau bahkan tidak sekolah sama sekali, 58% rumahnya masih berlantai tanah (istilah normatifnya pra sejahtera). Bagaimana dengan penghasilannyas? Juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena ternyata rata-rata upah petani tembakau hanyalah 47% dari rata-rata upah nasional (Rp 413.374 per bulan). Bahkan, jika pun dibandingkan dengan pertanian yang lain, upah petani tembakau hanya separuh dari upah petani tebu.

Selain itu, petani tembakau nyaris tidak mempunyai posisi tawar saat berhadapan dengan industri rokok, sebagai pembeli tunggal produk daun tembakau. Harga dan kualitas daun tembakau 100% ditentukan oleh pihak industri rokok. Mereka mempunyai grader yang bertugas menentukan grade dari daun tembakau, yaitu ditera sesuai dengan penilaian masing-masing grader dari perusahaaan rokok. Konyolnya, hasil grader tidak diketahui oleh petani tembakau. “...ada 40 tingkatan kualitas dan harga, mulai Rp 500 sampai dengan Rp 25.000 per kg, tergantung letak grade-nya. Petani tidak mengetahui tentang penentuan itu”, demikian kesaksian petani tembakau di Kabupaten Lombok Timur. Wajar jika sejatinya petani tembakau tidak happy dengan profesinya itu, dan, dua dari tiga petani tembakau ingin mencari pekerjaan lain, sebagai pedagang atau berpindah menjadi petani lain, misalnya petani padi.

Jadi, yang membuat petani tembakau sengsara bukanlah faktor pengendalian tembakau, tetapi justru industri rokok itu sendiri. Kalau selama ini petani tembakau menolak RUU Pengendalian Tembakau, sikap semacam itu jelas salah sasaran. Seharusnya, petani tembakau (APTI) melakukan tekanan balik pada industri rokok, yang selama ini menjadikan ‘gedibal’nya. Selain faktor di atas, industri rokok juga mempunyai stok yang melimpah, dan sangat cukup untuk berproduksi dua tahun penuh. Sementara, bagi petani sekali panen tembakaunya tidak dibeli oleh industri rokok, mereka akan collaps. Bahkan industri rokok masih mempunyai kedigdayaan lain yang tiada tara, yaitu mengimpor tembakau. Faktanya, 35% daun tembakau masih didatangkan dari Zimbabwe, untuk memasok kekurangan produksi rokok nasional.

Bersandar pada paparan di atas, rasanya makin terang-benderang, bahwa kita dininabobokkan oleh industri rokok. Sebuah industri yang selama ini begitu didewakan, ternyata tak memberikan kontribusi memadai untuk perekonomian nasional, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja. Kuantitas dan kualitas kehidupan petani tembakau pun rasanya bak jauh panggang dari api, untuk bisa dikatakan makmur. Tidak masuk akal jika Pemerintah menjadikan industri tembakau sebagai “industri unggulan” hingga 2015. Apanya yang diunggulkan, wong perannya terbukti hanya ecek-ecek?

Jika pun petani tembakau “mati suri”, yang mematikan bukan pengendalian tembakau, apalagi oleh RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan. Tingkah polah industri rokoklah yang terbukti sangat jumawa dalam memperlakukan petani tembakau. Mengharapkan dan mengandalkan petani tembakau untuk berani ‘bernegosiasi” dengan industri rokok sepertinya sulit. Karena itu, jika Pemerintah ingin menyelamatkan petani tembakau dan tidak ingin dituduh bersekongkol dengan industri rokok, Pemerintah seharusnya mengendalikan tata niaga tembakau. Hingga kini nyaris tidak ada pengaturan (kontrol) dari Pemerintah terkait dengan bisnis dan tata niaga tembakau nasional. Penentu tunggal tata niaga komoditas tembakau adalah industri rokok.

Pengendalian tembakau bukanlah momok, apalagi monster bagi eksistensi ekonomi tembakau. Fakta empiris membuktikan hal itu, sekali pun di negara yang permasalahan tembakaunya lebih kompleks dibandingkan Indonesia. Pengendalian tembakau tak akan mampu meruntuhkan empirium bisnis industri rokok yang meraksasa. Seharusnya tidak ada kegamangan bagi Pemerintah untuk mengendalikan produk tembakau dengan membuat produk hukum yang komprehensif. FCTC dan atau RUU Pengendalian Produk Tembakau bagi Kesehatan adalah instrumen paling elegan untuk meretas pengendalian tembakau di negeri ini.

Tulus Abadi,

Anggota Pengurus Harian YLKI, Peserta 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai, India

Thursday, February 26, 2009

Meski Tanpa Kerja Sama dengan Industru Rokok, Jakarta International Java Jazz Festival 2009 Dapat Berlangsung

Karena itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak menyampaikan terima kasih kepada PT Java Festival Production, penyelenggara acara ini.

"Industri rokok membentuk ketergantungan industri musik Indonesia dengan menjadikan produknya sebagai sponsor utama berbagai even musik. Jadi tidak mengherankan apabila sponsorship yang dilakukan industri rokok saat ini dibela oleh banyak pihak seperti musisi bahkan masyarakat secara umum," papar Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak
Seto Mulyadi di Jakarta, Rabu (25/2).

Padahal sesuai studi tentang Dampak Keterpajanan Iklan Rokok dan Kegiatan yang Disponsori Industri Rokok tehadap Aspek Kognitif, Sikap dan Perilaku Merokok Remaja (Komnas Anak-UHAMKA, 2007) membuktikan 81 persen anak-anak pernah mengikuti kegiatan yang disponsori industri rokok.

Kegiatan sponsorship rokok ini berperan dalam inisiasi merokok pada anak-anak dan menyebabkan anak yang telah berhenti merokok kembali merokok karena turut menghadiri kegiatan yang disponsori oleh industri rokok. Studi ini secara jelas membuktikan bahwa iklan, promosi dan sponsor rokok berpengaruh terhadap inisiasi merokok pada anak dan remaja.

Rokok yang selama ini menjadi sponsor berbagai kegiatan sejatinya adalah produk yang mengandung 4000 racun berbahaya dimana 69 di antaranya adalah zat karsinogenik (penyebab kanker). Lebih dari 70.000 artikel ilmiah membuktikan ba hwa produk tembakau menyebabkan penyakit dan membunuh setengah dari konsumennya.

WHO melaporkan tembakau membunuh 100 juta jiwa pada abad ke-20 dan diperkirakan akan membunuh 1 miliar orang pada abad ini. Di Indonesia sendiri, tembakau membunuh 427.948 ji wa pada tahun 2001 atau sebanyak 1.172 jiwa setiap harinya (Soewarta Kosen, 2004).

Saat ini Indonesia menempati posisi ketiga negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia (WHO 2008) dengan jumlah perokok anak-anak yang semakin meningkat setiap tahu nnya. Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik menunjukkan, prevalensi perokok remaja
usia 15-19 tahun mengalami lonjakan sebanyak 144 persen selama tahun 1995 hingga 2004. Dari 13,7 persen pada tahun 1995 menjadi 32,8 persen pada tahun 2004. Survei ini juga menunjukkan perokok yang mulai merokok pada usia 5-9 tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat, dari 0,4 persen pada tahun 2001 menjadi 1,8 persen pada tahun 2004. (LOK)

sumber: http://kesehatan. kompas.com/ read/xml/ 2009/02/25/ 19362664/ tanpa.rokok. konser.musik. tetap.jalan

Tuesday, January 27, 2009

Prevalensi Merokok pada Anak Terus Meningkat

Jumlah prevalensi anak dan remaja yang merokok terus meningkat. Dalam Survei Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik tahun 2001 dan 2004 menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi anak-anak usia 15-19 tahun yang merokok. Tahun 2001 sebesar 12,7 persen, tahun 2004 meningkat menjadi 17,3 persen.

Bahkan ada acara kesenian di Sumatera, tiketnya harus dibeli dengan rokok, kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi di Jakarta, Rabu (21/1).

Berdasar data Global You th Tobacco Survey 2006 yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia terbukti jika 24,5 persen anak laki-laki dan 2,3 persen anak perempuan berusia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok, dimana 3,2 persen darti jumlah tersebut telah berada dalam kondi si ketagihan atau kecanduan.

Fakta ini, menurut Seto Mulyadi, sejalan dengan strategi marketing industri rokok yang menyatakan, Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok....pola perokok remaja penting bagi Philip Morris . (Laporan penelitian Myron E Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Philip Morris, 1981, sumber fact sheet Depkes dan WHO).

Memang ada usul agar anak-anak dilarang merokok, tapi bagaimana caranya jika iklan dan promosi rokok terus gencar dilakukan, acara-acara anak dan remaja pun disponsori perusahaan rokok. Anak-anak kita telah menjadi korban, mereka harus dilindungi, tegas Seto Mulyadi.

Sekretaris Komnas PA Aris Merdeka Sirait menambahkan, jika iklan dan sponsor rokok dibiarkan tanpa diatur secara jelas dan kita terus membiarkan maka hal tersebut akan mengancam generasi bangsa.

Terlebih rokok dan tembakau telah menjadi epidemi global yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia setiap enam detik, dan merupakan penyebab utama tujuh dari delapan penyebab kematian terbesar di dunia.

Alasan kesehatan merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Tercatat tidak kurang dari 4.000 jenis zat kimia yang terkandung dalam sebatang rokok dimana 69 zat di antaranya bersifat karsinogenik dan bersifat adiktif. Berbagai bahaya merokok di antaranya penyebab 90 persen kanker paru pada laki-laki dan 70 persen pada perempuan, penyebab 22 persen dari penyakit jantung dan pembuluh darah, penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS, dan sebanyak 70.000 artikel ilmiah menunjukkan bahwa merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut sampai kanker kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma dan penyakit saluran nafas lainnya.

Menurut K oordinator Tim Litigasi Komnas PA Muhammad Joni, karena itu Komnas PA meminta agar Majelis Ulama Indonesia yang sedang melakukan pertemuan di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 24-26 Januari 2008 mengeluarkan fatwa haram untuk rokok.

sumber: Kompas.com

Monday, August 18, 2008

Tembakau, Penghidupan yang Mematikan

DALAM kepulan asapnya terkandung setidaknya 4.000 racun zat kimia berbahaya, dan 43 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu, di antaranya adalah tar, karbon monoksida (CO), nikotin, aseton (cat), hingga ammonia (pembersih lantai) dan toluene (pelarut industri).

Oleh WHO (World Health Organization) merokok bahkan disebut sebagai pembunuh nomor dua di dunia. Setengah dari orang yang merokok secara rutin, saat ini jumlahnya sekitar 650 juta orang, akan meninggal gara-gara tembakau. Tidak kalah mengerikan, ratusan ribu orang bukan perokok, walaupun juga sering disebut perokok, ikut menanggungnya. Mereka meninggal karena terpaksa harus ikut menyerap asap yang dikeluarkan para perokok.

Asap rokok adalah faktor utama penyebab penyakit jantung koroner. Selain itu berakibat buruk bagi pembuluh darah otak dan perifer. Dari 11 juta kematian per tahun di negara industri maju, WHO melaporkan lebih dari setengah--sebanyak 6 juta di antaranya--disebabkan gangguan sirkulasi darah dengan 2,5 juta adalah penyakit jantung koroner dan 1,5 juta adalah stroke.

Karena itu, tak salah jika kampanye hidup sehat dengan menjauhi rokok gencar dilakukan pihak-pihak yang peduli dengan kesehatan. Yang menjadi pertanyaan kini adalah seberapa efektifkah kampanye dan momen peringatan hari tanpa rokok tersebut bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan?

Kondisi di Indonesia
Publikasi Kantor WHO untuk Asia Tenggara mengenai Kecenderungan Penggunaan Rokok di Indonesia 2001 (Prevalence of Tobacco Use in Indonesia, 2001) menunjukkan konsumsi rokok di Indonesia cenderung meningkat setiap dasawarsanya.

Jika pada 1970 konsumsi rokok per kapita di Indonesia sebesar 469 batang, jumlah tersebut melonjak menjadi lebih dari 100% pada periode 1980 dengan 942 batang. Kecenderungan peningkatan itu tetap terjadi pada dasawarsa-dasawarsa selanjutnya meski angka persentasenya tidak sebesar 1980. Tercatat untuk periode 1990 dan 2000, konsumsi rokok per kapita Indonesia meningkat menjadi masing-masing 1.145 batang dan 1.434 batang (lihat grafik).

Dari data tersebut secara sekilas bisa dilihat bahwa kampanye antirokok belum berhasil memengaruhi tingkah laku merokok masyarakat Indonesia. Padahal, berbagai kampanye antirokok cukup gencar menyosialisasikan berbagai dampak negatif merokok bagi kesehatan, termasuk bagi pengeluaran rumah tangga.

Dampak negatif merokok, sebagaimana yang dilaporkan Tim Penanggulangan Masalah Tembakau Departemen Kesehatan RI, sedikitnya 9,2% dari 3.300 kematian pada 2001 disebabkan tembakau. Lebih lanjut, saat ini sedikitnya 57% rumah tangga di Indonesia mempunyai satu perokok yang hampir seluruhnya (91,8%) merokok di rumah. Akibatnya tandas laporan WHO, sedikitnya 43 juta anak di Indonesia berusia 0-14 tahun terkena paparan asap rokok yang akan berpengaruh pada mudahnya anak-anak tersebut terkena infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga tengah serta asma.

Sementara itu, dampak negatif merokok bagi pengeluaran rumah tangga dibuktikan hasil analisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik 2003. Biaya yang dikeluarkan penduduk Indonesia untuk rokok menurut laporan tersebut adalah dua setengah kali lebih besar daripada biaya pendidikan dan tiga kali lebih besar daripada anggaran kesehatan. Itu belum termasuk biaya pengobatan yang harus dikeluarkan akibat terganggunya kesehatan karena merokok.

Konvensi pengendalian tembakau
Kampanye antirokok melalui peringatan Hari tanpa Tembakau Sedunia dan sosialisasi bahaya merokok tidak akan efektif tanpa dukungan dari pemerintah selaku regulator industri, termasuk industri rokok. Pemerintah Indonesia selama ini memang bersikap gamang dalam menyikapi masalah ini. Hal ini tampak dari penolakan pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Pengendalian Tembakau.

FCTC merupakan perjanjian kesehatan internasional pertama yang perundingannya diprakarsai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). FCTC telah diresmikan menjadi hukum internasional pada 27 Februari 2005. Hingga hari ini, sebanyak 147 negara dari 168 negara telah meratifikasi FCTC. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk dalam kelompok negara yang meratifikasi FCTC. Di wilayah Asia, hanya Indonesia yang belum meratifikasinya. Padahal, Indonesia telah terlibat dalam pembuatan draf konvensi ini.

Indonesia masih merasa belum mampu/konsisten untuk memenuhi persyaratannya. Satu sisi, melalui beberapa pemerintah daerah telah dikeluarkan peraturan-peraturan untuk membatasi/melarang merokok. Misalnya Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang mulai diberlakukan April 2005. Dalam peraturan tersebut rokok menjadi salah satu pencemar udara. Karena itu, diperlukan aturan bagaimana cara merokok.

Daerah lain yang juga membuat peraturan serupa adalah Kota Bandung. Melalui Perda tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan, yang merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum akan dikenai denda.

Namun, peraturan tinggal peraturan. Walau dengan masa sosialisasi yang cukup lama, lebih dari setahun, peraturan-peraturan daerah yang membatasi merokok tidak berjalan dengan baik. Para perokok masih bebas mengepulkan asapnya, tanpa harus khawatir didenda atau dipenjara. Saat melihat pelanggaran tersebut pemerintahnya pun seakan tidak peduli.

Ketidakpedulian pemerintah dengan peraturan yang dibuatnya sendiri bisa dijelaskan antara lain dengan betapa besarnya sumbangan rokok terhadap penerimaan negara. Termasuk kemampuan industri ini menyerap tenaga kerja. Direktorat Bea Cukai memublikasikan sumbangan cukai terhadap pendapatan negara 2005 mencapai Rp29,3 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% diperoleh dari cukai rokok.
Di APBN 2006, penerimaan cukai ditargetkan Rp36,5 triliun. Target ini lantas direvisi di APBN-P 2006 menjadi Rp38,5 triliun. Realisasi akhir tahunnya mencapai Rp37,9 triliun atau hanya meleset 1,6% senilai Rp600 miliar. Pada 2007 penerimaan dari cukai ditargetkan sebesar 42,5 triliun. Penaikan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 7% yang berlaku 1 Maret 2007 dan pemberlakuan tarif spesifik Rp7, Rp5, dan Rp3 per batang mulai 1 Juni 2007 dipercaya akan mendongkrak penerimaan negara hingga Rp2,5 triliun.

Dalam hal kemampuan menyerap tenaga kerja, data Ditjen KPI menyebutkan sekitar 6,4 juta orang bekerja di industri rokok dan berbagai sektor terkait seperti industri kertas rokok dan permesinannya. Sementara itu, tercatat sebanyak 20 juta orang kehidupannya bergantung pada industri rokok.

Maka, tak mengherankan jika pemerintah Indonesia tak kunjung meratifikasi FCTC. Jika meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan terikat secara hukum antara lain dalam hal peningkatan cukai dan harga rokok, pengaturan iklan secara komprehensif termasuk promosi dan sponsor rokok, serta penyelundupan (lihat tabel). Berbagai peraturan tersebut dikhawatirkan akan menurunkan pemasukan negara.

Padahal, jika mau dikaji lebih lanjut, kekhawatiran tersebut tak cukup beralasan. Dalam laporan Pengendalian Tembakau 2003 yang dikeluarkan Bank Dunia, pengendalian tembakau termasuk rokok bisa dilakukan justru melalui peningkatan cukai dan harga rokok. Peningkatan cukai bermanfaat bagi kesehatan masyarakat karena menurunkan konsumsi rokok, sekaligus bermanfaat bagi perekonomian karena dapat menaikkan penerimaan negara.

Laporan tersebut membuktikan penaikan harga produk tembakau sebesar 10% akan menurunkan tingkat permintaan global sebesar rata-rata 4%-8% dan dapat mencegah sedikitnya 10 juta kematian. Selain itu, penaikan harga produk tembakau sebesar 10% juga akan menaikkan seluruh penerimaan pemerintah rata-rata sebesar 7%. Pemerintah Indonesia pun sebenarnya sudah mengetahuinya. Buktinya target penerimaan dari cukai ditingkatkan tahun ini karena penaikan HJE.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC karena langkah itu terbukti akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan pemerintah sendiri.

(Dudi Herlianto/Litbang Media Group)