Tak ada komoditas yang paling dipuja dan disembah di se antero negeri ini, selain tembakau. Produk ini disakralkan begitu rupa, bak dewa saja. Tak hanya oleh Pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk media masa. Tak heran jika komoditas ini dianggap “juru selamat” atas ekonomi nasional, yang hingga kini masih lesu darah. Saat krisis ekonomi 1997, industri rokok yang masih menangguk untung. Kini di tengah hantaman krisis ekonomi global, posisi orang terkaya di Indonesia pun masih ‘dikangkangi’ oleh taipan perusahaan rokok. Tidaklah aneh jika isu pengendalian tembakau (tobacco control) di negeri ini selalu termarginalisasikan. Pengendalian tembakau acap menjadi kambing hitam atas isu bangkrutnya industri rokok yang mengakibatkan PHK masal, plus akan menggulung eksistensi petani tembakau.
Tudingan semacam itu jelas hanya isapan jempol, didramatisasi dan kental suasana politicking-nya. Tak ada fakta, baik secara akademis dan atau empiris, bahwa pengendalian tembakau mengakibatkan “kiamat ekonomi” bagi suatu negeri.
Mau bukti? Hasil kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2008) telah membongkar tabir yang sesungguhnya, bahwa kontribusi ekonomi industri tembakau tidaklah signifikan, bahkan sangat kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), industri tembakau bukan penyerap tenaga kerja besar di tingkat nasional. Bahkan, industri ini hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Fakta juga menunjukkan, industri rokok berkontribusi kurang dari 1 persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an, hingga kini (bandingkan, misalnya dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4%, atau sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6 persen). Tren menurunnya penyerapan tenaga kerja akan terus terjadi, karena industri rokok melakukan mekanisasi. Jutaan buruh, yang mayoritas perempuan, secara perlahan tapi pasti akan diganti dengan mesin-mesin canggih. Janji PT Philip Morris Internasional saat mengakuisisi 94 persen saham PT HM Sampoerna, untuk tidak melakukan mekanisasi, juga diingkari.
Bagaimana pula dengan kontribusi pertanian tembakau dan nasib petani tembakau itu sendiri?
Lagi-lagi, masih mengutip hasil kajian Lembaga Demografi UI dan BPS, jumlah petani tembakau tidaklah signifikan, karena hanya 1,6 persen (684.000) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan 0,7 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia.. Klaim Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) bahwa petani tembakau di Indonesia berjumlah 22 juta orang, adalah bohong belaka. Dari jumlah yang tidak signifikan itu pun, kondisi sosial ekonomi petani tembakau juga tidak menggembirakan, bahkan mengenaskan. Misalnya, 69% petani tembakau hanya tamat SD atau bahkan tidak sekolah sama sekali, 58% rumahnya masih berlantai tanah (istilah normatifnya pra sejahtera). Bagaimana dengan penghasilannyas? Juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena ternyata rata-rata upah petani tembakau hanyalah 47% dari rata-rata upah nasional (Rp 413.374 per bulan). Bahkan, jika pun dibandingkan dengan pertanian yang lain, upah petani tembakau hanya separuh dari upah petani tebu.
Selain itu, petani tembakau nyaris tidak mempunyai posisi tawar saat berhadapan dengan industri rokok, sebagai pembeli tunggal produk daun tembakau. Harga dan kualitas daun tembakau 100% ditentukan oleh pihak industri rokok. Mereka mempunyai grader yang bertugas menentukan grade dari daun tembakau, yaitu ditera sesuai dengan penilaian masing-masing grader dari perusahaaan rokok. Konyolnya, hasil grader tidak diketahui oleh petani tembakau. “...ada 40 tingkatan kualitas dan harga, mulai Rp 500 sampai dengan Rp 25.000 per kg, tergantung letak grade-nya. Petani tidak mengetahui tentang penentuan itu”, demikian kesaksian petani tembakau di Kabupaten Lombok Timur. Wajar jika sejatinya petani tembakau tidak happy dengan profesinya itu, dan, dua dari tiga petani tembakau ingin mencari pekerjaan lain, sebagai pedagang atau berpindah menjadi petani lain, misalnya petani padi.
Jadi, yang membuat petani tembakau sengsara bukanlah faktor pengendalian tembakau, tetapi justru industri rokok itu sendiri. Kalau selama ini petani tembakau menolak RUU Pengendalian Tembakau, sikap semacam itu jelas salah sasaran. Seharusnya, petani tembakau (APTI) melakukan tekanan balik pada industri rokok, yang selama ini menjadikan ‘gedibal’nya. Selain faktor di atas, industri rokok juga mempunyai stok yang melimpah, dan sangat cukup untuk berproduksi dua tahun penuh. Sementara, bagi petani sekali panen tembakaunya tidak dibeli oleh industri rokok, mereka akan collaps. Bahkan industri rokok masih mempunyai kedigdayaan lain yang tiada tara, yaitu mengimpor tembakau. Faktanya, 35% daun tembakau masih didatangkan dari Zimbabwe, untuk memasok kekurangan produksi rokok nasional.
Bersandar pada paparan di atas, rasanya makin terang-benderang, bahwa kita dininabobokkan oleh industri rokok. Sebuah industri yang selama ini begitu didewakan, ternyata tak memberikan kontribusi memadai untuk perekonomian nasional, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja. Kuantitas dan kualitas kehidupan petani tembakau pun rasanya bak jauh panggang dari api, untuk bisa dikatakan makmur. Tidak masuk akal jika Pemerintah menjadikan industri tembakau sebagai “industri unggulan” hingga 2015. Apanya yang diunggulkan, wong perannya terbukti hanya ecek-ecek?
Jika pun petani tembakau “mati suri”, yang mematikan bukan pengendalian tembakau, apalagi oleh RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan. Tingkah polah industri rokoklah yang terbukti sangat jumawa dalam memperlakukan petani tembakau. Mengharapkan dan mengandalkan petani tembakau untuk berani ‘bernegosiasi” dengan industri rokok sepertinya sulit. Karena itu, jika Pemerintah ingin menyelamatkan petani tembakau dan tidak ingin dituduh bersekongkol dengan industri rokok, Pemerintah seharusnya mengendalikan tata niaga tembakau. Hingga kini nyaris tidak ada pengaturan (kontrol) dari Pemerintah terkait dengan bisnis dan tata niaga tembakau nasional. Penentu tunggal tata niaga komoditas tembakau adalah industri rokok.
Pengendalian tembakau bukanlah momok, apalagi monster bagi eksistensi ekonomi tembakau. Fakta empiris membuktikan hal itu, sekali pun di negara yang permasalahan tembakaunya lebih kompleks dibandingkan Indonesia. Pengendalian tembakau tak akan mampu meruntuhkan empirium bisnis industri rokok yang meraksasa. Seharusnya tidak ada kegamangan bagi Pemerintah untuk mengendalikan produk tembakau dengan membuat produk hukum yang komprehensif. FCTC dan atau RUU Pengendalian Produk Tembakau bagi Kesehatan adalah instrumen paling elegan untuk meretas pengendalian tembakau di negeri ini.
Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI, Peserta 14th World Congres Tobacco or Health, Mumbai, India