Monday, May 28, 2007

Rokok dan Kemiskinan

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kita tidak tahu berapa persen dari enam miliar lebih penduduk bumi yang hobi merokok, sebuah kebiasaan yang tiap hari dan tiap malam membakar uang dalam hitungan yang tidak tanggung-tanggung. Di Indonesia, di kota dan di dusun, dengan mudah dapat disaksikan para perokok ini, dari usia SD sampai mereka yang tua bangka, demikian asyiknya menikmati racun nikotin. (Nicotine dalam bahasa Inggris berarti ''alkohol beracun yang terkandung dalam tembakau'').

Yang sering meresahkan adalah tabiat perokok yang tak hirau dengan lingkungan, asap rokok tetap mengepul. Di atas bus yang sarat dengan penumpang, di atas kereta api, di tempat-tempat umum, ahli hisap ini tak punya beban apa pun untuk mendemonstrasikan keahliannya minum racun itu. Penderitaan orang lain yang bersebelahan duduk dengannya nyaris tidak dipertimbangkan. Dengan demikian, perokok adalah egoistik dalam formatnya yang sempurna.

Saksikan pulalah petani perokok. Jika bukan rokok putih, udut gelinting pun jadi. Dengan tembakau yang dibungkus dalam daun nipah, kelekai jagung, dan jenis dedaunan lainnya, para petani itu memuaskan dirinya dengan menghembuskan asap udutnya ke udara, tidak jarang dalam bentuk lingkar-melingkar. Saya punya pengalaman dengan anak sendiri yang sudah merokok sejak di SMA. Hampir setiap kali dia merokok, kami "berkelahi" agar dia tobat dari rokok, tetapi belum berhasil. Ada dua kata kunci yang sering saya gunakan untuknya: Mubazir dan paru-parumu! Siapa tahu pada suatu hari, anak satu-satunya ini akan memahami dua kata kunci itu.

Saya memang pernah mendengar seorang tokoh yang sangat keras kepala dalam perkara rokok ini. Istri, anak, dan teman, semuanya gagal mengingatkannya agar berhenti membakar uang. Tetapi dalam usia lanjut, ternyata protes sang cucu telah menaklukkannya. Tokoh ini sudah talak tiga dengan rokok. Saya tidak tahu, apakah anak saya harus menunggu cucu dulu, baru sadar, sementara anaknya sendiri belum berusia tiga bulan. Tidak mudah memang menyadarkan seseorang tentang buruknya tabiat merokok. Orang yang paling tidak tahu diri adalah si penganggur perokok, sudah berkeluarga lagi. Demi rokok, dia seperti tak hirau apakah dapurnya berasap atau tidak, apakah tambahan susu untuk anaknya tersedia atau tidak.

Egoisme perokok dapat berdampak destruktif sangat jauh bagi anak keturunannya. Termasuk dalam kategori ini adalah pengamen yang berkeliaran di simpang jalan lampu merah di kota-kota. Sambil mengamen rokok pun tak lepas dari mulutnya. Tidak ada kesadaran dan rasa malu di sini, hasil ngamen pun juga untuk dibakar, tidak peduli siang hari bulan puasa. Demikian kasarkah perasaan sebagian manusia?

Banyak di antara pengamen ini berpakaian aneh-aneh, norak, badan penuh tato, rambut belang-belang, dan tidak jarang merangkap sebagai pencandu narkoba. Aduhai bangsaku, betapa gelapnya masa depan kita, jika para pencandu ini menjadi pemimpin partai politik misalnya, ketika peluang itu terbuka baginya. Pencandu dan premanisme sesungguhnya beradik-berkakak. Rokok adalah salah satu penyebab kemiskinan dan kesengsaraan.

Coba amati panorama di bawah ini. Di Saudi Arabia, ada fatwa pengharamam merokok. Di berbagai ruang publik terbaca peringatan ini: "al-tadkhin mamnu' atau mamnu' al-tadkhin (haram merokok). Tetapi apa yang berlaku dalam realitas? Dari sekitar 23 juta penduduk kerajaan itu, enam juta adalah pencandu rokok berat. Tidak kurang dari 12 miliar riyal (sekitar Rp 28,8 triliun) dihabiskan pencandu ini saban tahun. (Lihat Padang Ekspres, 9 April 2007, hlm 5). Sekiranya mereka mengurangi separuh saja dari tabiat itu, akan tersedia dana Rp 14,4 triliun untuk memberdayakan orang miskin di Indonesia misalnya. Bukankah secara syar'i di sana rokok adalah barang haram?

Bayangkan, jika seperlima saja penduduk bumi perokok mengurangi separuh saja kebiasaan itu selama setahun, jika ukuran Saudi kita gunakan, maka akan terkumpul dana lebih dari Rp 5.760 triliun. Angka sangat kasar ini saja sudah demikian raksasa untuk menolong dunia dari ancaman kemiskinan. Tetapi saya sadar sepenuhnya, bahwa semuanya ini hampir mustahil untuk diturunkan menjadi kenyataan.

Dan memang tujuan Resonansi ini bukan mengarah ke sana. Setidak-tidaknya, kita mungkin akan semakin sadar tentang betapa gilanya dunia ini, untuk rokok selama setahun saja uang harus dipanggang sia-sia dalam hitungan yang dahsyat. Apalagi jika puasa merokok selama setahun, maka jumlah dana untuk melawan kemiskinan akan membengkak menjadi Rp 11,520 triliun.

Tidak usahlah terlalu jauh kita menerawang. Di sebuah kampung saja misalnya ada gerakan mengurangi merokok, dan uangnya dipakai untuk meningkatkan mutu pendidikan, berapa banyak dana yang bisa diinfaqkan, bukan? Syaratnya tunggal: Mau berjihad melawan rokok. Siapa tahu, manfaatnya akan sangat besar bagi anak didik kita yang serba kekurangan.

sumber: http://www.republika.co.id/Kolom_detail.asp?id=289761&kat_id=19 17 April 2007