Monday, June 4, 2007

RUU Pengendalian Tembakau Siap Dibawa Ke Rapim DPR RI

Para pengusul RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan akhirnya berhasil bertemu Ketua DPR RI dalam audiensi 30/5/2007. Dalam audiensi tersebut inisiator RUU secara terang-terangan meminta dukungan Agung Laksono.

Setelah terlambat sekitar 45 menit dari yang dijadwalkan, akhirnya Ketua DPR RI menerima kelompok pengusul RUU yaitu Hakim S. Pohan, Aisyah Hamid Baidlowi, Tuti Loekman, Alvin Lie, Elva Hartati dan Nidalia Djohansyah.

Audiensi yang diprakarsai oleh Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan ini bermaksud untuk mendapatkan perhatian Ketua DPR, bahwa RUU yang sampai hari ini telah ditandatangani oleh 226 Anggota Parlemen tersebut, kini statusnya masih tetap dalam proses, belum ada peningkatan signifikan. “Padahal remaja dan anak-anak di sekolah yang jadi korban industri rokok semakin mengkhawatirkan.”

Hakim S. Pohan juga menyebutkan bahwa persepsi Baleg DPR masih simpang siur terhadap RUU tersebut, ada yang menganggap RUU Anti Rokok ataupun RUU Larangan Merokok. “Padahal yang diusung adalah RUU Penanggulangan Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan,” ungkap Hakim.

Alotnya Baleg memasukkan RUU ini ke Prolegnas 2007 karena masih menganggap masalah tembakau belum menjadi urgensi nasional. Yang selama ini menjadi keberatan khalayak adalah mitos bahwa jika ada regulasi masalah tembakau maka industri rokok akan gulung tikar dan terjadi pengangguran. Padahal, rokok adalah produk inelastis, dimana produksi rokok tidak tergantung pada harga karena rokok sifatnya adiktif, sehingga berapa pun harganya, orang akan tetap membelinya.

RRC yang menyuplai 38% tembakau di dunia dengan total produksi rokok 1,7 triliun batang sudah meratifikasi FCTC, sementara Indonesia yang hanya menyuplai 2,3% tembakau dunia dengan total produksi rokok 220-240 milyar batang menolak menandatangani FCTC bahkan sampai hari ini tidak bersedia melakukan aksesi/meratifikasi FCTC, yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi generasi sekarang dan generasi mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, dan lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan asap tembakau.

Orang Miskin Konsumen Rokok Terbesar.

Lebih jauh Hakim memaparkan bahwa salah besar kalau RUU ini belum dianggap urgen. Data yang dilaporkan Susenas maupun BPS menunjukkan fakta yang ada. Keadaan semakin mengkhawatirkan dengan meningkatnya jumlah perokok anak. 5 - 10 tahun. Pada periode 1995 – 2001 jumlah perokok kelompok umur ini berkisar 0,4 – 0,6%, namun pada periode tiga tahun berikutnya, 2001 – 2004, meningkat drastis hampir 4 kali lipat yaitu 1,8%

Diperkirakan pada 2007, jumlah keluarga miskin (gakin) di Indonesia,sebesar 19 juta jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 2/3 laki-laki gakin merokok, sehingga 12 juta kepala keluarga gakin adalah perokok Belanja rokok orang miskin 23 triliun/tahun, sementara APBN untuk DEPKES hanya 17 triliun. Sedangkan belanja makanan pokok anjlog dari 28% menjadi 19%. Itulah mengapa banyak ditemukan busung lapar di tengah keluarga miskin, karena alokasi makanan pokok dialihkan untuk membeli rokok. Rokok, bagi keluarga miskin justru memiskinkan orang miskin.

Agung Laksono memberi respon positif dan akan membahasnya di RAPIM DPR. “Apalagi RUU ini sudah memenuhi persyaratan dasar, yaitu sudah masuk Baleg dan naskah akademis sudah ada. Saya akan lanjutkan ke Rapat Pimpinan Dewan untuk dibahas kembali, dan pada akhirnya akan dibawa ke BAMUS untuk ditindaklanjuti.”

Agung pun menambahkan bahwa RUU tersebut tidak perlu diragukan dan dicemaskan, karena jelas-jelas tidak akan merugikan industri rokok. Jika telah disepakati di fraksi, akan dibawa ke paripurna dan selanjutnya akan dibahas di BAMUS. “Mudah-mudahan pada periode kita tahun 2004-2009 sudah bisa,” saat Agung menutup audiensi.

Audiensi sebelumnya juga telah dilakukan di hadapan Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, Selasa 29/5/07 lalu. Dalam kesempatan tersebut Hidayat menambahkan, sebagai Ketua MPR kapasitasnya sebatas mendukung pembuatan opini. “Karena dukungannya secara politis tidak akan memberi nilai tambah apapun, malah bisa menimbulkan tafsir politik yang macam-macam,” imbuhnya.


Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Endah/Eva/Neni 021 70608262 dan 021 5737422