Sunday, May 27, 2007

Urgensi Rancangan Undang-Undang Tembakau

Oleh: Tulus Abadi
ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA

Bagi negeri ini, industri rokok mempunyai dimensi kepentingan yang amat luas, nyaris tak terbatas. Hampir tidak ada sisi kehidupan yang "suci" dari sentuhan "tangan kuasa" industri rokok. Sektor ekonomi, keuangan, sosial, budaya, pendidikan, pentas musik, olahraga, dan pesta politik pun tidak menggeliat jika tidak disentuh oleh "raja midas", industri rokok. Jalannya roda pemerintah ini pun amat bergantung pada injeksi industri rokok. Efek candu yang diciptakan dan menimbulkan ketergantungan kronis ini seolah menegasikan semua aspek eksternalitas rokok.

Maka, ketika sebuah lembaga bernama Forum Parlemen Indonesia (Indonesian Parliament Forum) menelurkan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Dampak Tembakau (sebut saja RUU Tembakau) bagi Kesehatan, banyak pihak kebakaran jenggot, terutama kalangan industri rokok. Bak gaya sepak bola, industri rokok menggunakan jurus total football untuk menganulir RUU ini, termasuk "membeli" ilmuwan dari universitas termasyhur di negeri ini. RUU ini telah mengantongi dukungan 224 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (40,7> persen) dan kini sedang didesakkan untuk menembus Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007/2008 melalui pintu masuk Badan Legislasi DPR.

Layak dipertanyakan, atas pertimbangan apa sehingga RUU ini urgen untuk segera dibahas dan disahkan? Tidak terlalu sulit membeberkan pembenarannya. Pertama, kepentingan kesehatan dan sosial. Ekses eksternalitas tembakau dengan segala turunannya sudah final. Sebatang rokok mengandung 4.000 racun kimia berbahaya, 10 di antaranya bersifat karsinogenik. Ekses negatif itu tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga ekses sosial, ekonomi, moral, dan budaya. Disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006) membuktikan perilaku merokok berkontribusi signifikan terhadap tumbuhnya berbagai penyakit sosial, seperti penggunaan narkotik, tindak kekerasan, bahkan HIV/AIDS. Sergapan asap rokok terhadap pelajar kini pun amat merisaukan, setidaknya menurut Global Youth Tobacco Survey 2006 versi WHO, yaitu 37,3 persen pelajar laki-laki dan perempuan di Indonesia mengaku pernah merokok serta 24,5 persen pelajar laki-laki bahkan telah menjadi perokok aktif.

Sementara itu, menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005 sebesar US$ 900, total biaya yang hilang US$ 4.870.713.600!

Kedua, ketika dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan akibat rokok begitu menggawat, ironisnya hingga detik ini kita belum mempunyai produk hukum yang secara komprehensif mengatur industri rokok. Bagaimanapun industri rokok adalah industri yang memproduksi dan memasarkan "barang bermasalah". Saat ini masalah bahaya rokok hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Bahaya Rokok bagi Kesehatan, yang merupakan turunan dari Pasal 44 UU tentang Kesehatan. Namun, faktanya, PP ini nyaris tidak bisa "mematuk" siapa pun yang melanggarnya, termasuk pelanggaran jam tayang iklan rokok oleh media massa. Secara historis-politis, proses pembahasan PP ini justru didikte oleh industri rokok.

Ketiga, konstelasi politik internasional. RUU Penanggulangan Dampak Tembakau menjadi urgen mengingat saat ini pemerintah Indonesia telah menjadi obyek cemoohan komunitas internasional, terutama oleh negara anggota WHO dan komunitas lembaga swadaya masyarakat. Bahkan pemerintah Indonesia diberi award bernama ashtray award, alias negara keranjang sampah nikotin. Itu semua terjadi karena pemerintah Indonesia tidak menandatangani/meratifikasi konvensi yang bernama Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).> Penolakan pemerintah Indonesia terhadap FCTC merupakan pengingkaran terhadap komitmen internasional, karena delegasi Indonesia justru terlibat aktif dalam pembahasan draf FCTC (sebagai drafting committee members). Delegasi Indonesia juga menerima secara bulat substansi FCTC dalam Sidang Kesehatan Dunia (World Health Assembly) di Jenewa, Swiss, Mei 2003. Kini FCTC telah menjadi hukum internasional dan 137 negara telah meratifikasinya. Satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC, ya, Indonesia.

Lalu mengapa industri rokok dan kroni-kroni dekatnya begitu serius "menaklukkan" Badan Legislasi DPR agar tidak memasukkan RUU ini ke dalam Prolegnas 2007/2008? Akankah eksistensi mereka tergusur? Itulah. Menurut industri rokok, jika DPR berhasil menggunakan hak inisiatifnya untuk mengegolkan RUU, mereka akan kolaps seketika. Ribuan petani kehilangan lahan, ratusan ribu tenaga kerja kena pemutusan hubungan kerja, dan pemerintah pun akan kehilangan triliunan rupiah dari cukai rokok.

Apakah klaim ini berdasarkan fakta atau hanya propaganda murahan dari industri rokok? Ya, itu semua isapan jempol belaka. Soal FCTC, misalnya, saat ini negara penghasil tembakau terbesar di dunia, seperti Cina (38 persen), Brasil (10,3> persen), dan India (9,1 persen), kendati telah meratifikasi FCTC, industri rokoknya masih sehat walafiat. Jika ketiga negara itu, yang notabene lebih besar penghasilan tembakaunya ketimbang Indonesia, berani meratifikasi FCTC, mengapa Indonesia yang hanya berkontribusi 2,3 persen dari tembakau dunia tidak berani? Pasti ini semua karena isu FCTC dan RUU Penanggulangan Dampak Tembakau dipelintir habis-habisan oleh industri rokok.

Minimal ada dua poin yang menjadi puncak ketakutan industri rokok terhadap FCTC dan RUU Penanggulangan Dampak Tembakau ini, yaitu soal kebijakan cukai tinggi (tax increasing) dan larangan menyeluruh terhadap promosi rokok (total ban promotion). Lagi-lagi, menurut mereka, ketentuan ini akan menggusur industri rokok. Padahal, di dunia mana pun, cukai rokok pasti tinggi. Contoh terdekat Thailand, cukai rokoknya mencapai 75 persen dari> harga rokok. Indonesia masih sangat rendah, maksimal hanya 30 persen. Itu pun hanya beberapa merek rokok. Harga rokoknya pun masih amat murah. Akibatnya, rokok dapat diakses oleh anak-anak dan orang miskin, yang notabene belum/tidak layak mengkonsumsi rokok. Cukai rokok tinggi justru akan mengatrol pendapatan pemerintah dan akan memotong akses masyarakat miskin dan anak-anak untuk membeli rokok. Biarkan yang> merokok itu orang dewasa, dan berkantong tebal pula.

Total ban terhadap promosi rokok juga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penjualan rokok. Rokok adalah produk in-inelastis, sebagaimana narkotik. Narkotik yang jelas-jelas terlarang dan tidak pernah dipromosikan, toh laku keras bak kacang goreng. Barang in-inelastis adalah barang yang menimbulkan efek ketergantungan akut, ke mana pun akan diburu kendati harganya selangit. Sungguh keterlaluan jika rokok yang merupakan produk bermasalah (in-inelastis) ini masih juga dipromosikan.

Secara minimalis, pembahasan dan pengesahan RUU Penanggulangan Dampak Tembakau bagi Kesehatan akan menutup malu pemerintah Indonesia di dunia internasional, yang bergeming dengan FCTC. Industri rokok juga tidak perlu mendramatisasi situasi, apalagi mempolitisasinya. Sebab, sekuat apa pun pengawasan dan pembatasan produk rokok, maksimal hanya akan mampu mengurangi pasokan rokok 1 persen. Bandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia yang sebesar 1,32 persen per tahun (artinya tidak akan kehilangan pangsa pasar).

Maju terus RUU Penanggulangan Dampak Tembakau bagi Kesehatan!