Oleh Tulus Abadi (anggota Pengurus Harian YLKI dan Ketua III Komnas Penanggulangan Masalah Merokok)
Sebatang rokok bak pisau bermata dua. Satu sisi melahirkan benefit bagi negara dan masyarakat, di sisi yang lain menimbulkan berbagai luka (dampak eksternalitas). Tidak hanya bagi kesehatan, tetapi juga ekonomi, sosial, dan bahkan budaya. Namun, pemerintah dan masyarakat tampaknya peduli pada aspek benefitnya saja. Aspek eksternalitas rokok nyaris terlupakan.
Berdasar fakta itulah, komunitas internasional yang dikomandani Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjadikan tanggal 31 Mei sebagai Hari Tanpa Tembakau se-Dunia (World No Tobacco Day). Tema peringatan kali ini adalah "Free Smoke and Environment" (bebaskan lingkungan dari asap rokok).
Relevan dengan tema peringatan tersebut, dalam konteks nasional maupun lokal Jakarta kita patut mempertanyakan (menggugat!) keefektifan dua produk hukum yang berlaku di Indonesia. Yaitu, Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun 2005 tentang Penanggulangan Pencemaran Udara (PPU) di DKI Jakarta.
Kedua beleid itu secara tegas mengakomodasi efek negatif tembakau (asap rokok) bagi lingkungan berupa larangan merokok di tempat-tempat umum, yang dinyatakan sebagai "Kawasan Tanpa Rokok" atau KTR, PP No 19/2003 maupun Perda No 2/2005 yang menegaskan bahwa: tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok.
Terasa indah di telinga, memang. Tetapi apa lacur, jika kedua beleid itu justru nyaris tidak terdengar lagi alias mati suri? Aktivitas merokok di tempat KTR, berjalan seperti biasa, hampir tidak ada rasa ewuh-pakewuh sedikit pun. Layak kita pertanyakan, ada apakah gerangan sehingga kedua peraturan itu mati sebelum waktunya?
Macan Kertas
Tidak terlalu sulit untuk membedah penyebabnya. Pertama, secara politis, pemerintah tidak mempunyai keberbihakan yang jelas terhadap penanggulangan bahaya rokok di Indonesia. Pemerintah hanya peduli dengan dimensi ekonominya saja, sedangkan aspek eksternalitasnya nyaris tidak disentuh.
Departemen Kesehatan, yang seharusnya menjadi pengawal dan penjaga gawang PP No 19/2003, lebih sering kebobolan dan tidak mempunyai energi untuk penegakan hukum. Setali tiga uang dengan Pemprov DKI Jakarta, ternyata semangatnya hanya "hangat-hangat tahi ayam".
Kedua, substansi hukumnya sangat lemah. Kita tahu, PP No 19 Tahun 2003 adalah hasil revisi ketiga dari PP No 81 Tahun 1999 tentang Penanggulangan Bahaya Rokok bagi Kesehatan. Industri rokok begitu perkasa merontokkan PP No 81/1999. Satu demi satu gigi PP No 81/1999 ditanggalkan.
Ketentuan larangan total iklan rokok bagi media massa elektronik langsung digergaji dengan PP No 32 Tahun 2000. Ketentuan maksimum tar-nikotin digergaji dengan PP No 19 Tahun 2003. Praktis, secara substansi PP No 81/1999 yang bertiwikrama menjadi PP No 19/2003 sudah "dilumpuhkan" . Siapa lagi yang melumpuhkan kalau bukan industri rokok? Perda PPU demikian juga, karena hanya paraturan "cangkokan" atas penanggulangan pencemaran udara sektor transportasi.
Ketiga, proses penyadaran dan pemberdayaan publik sangat rendah. Proses sosialisasi yang dilakukan sangat formalistik, ala kadarnya dan lebih bernuansa "proyek". Kesadaran masyarakat terhadap bahaya rokok khususnya bagi perokok pasif juga belum memadai. Demikian juga budaya penghormatan terhadap tempat publik juga masih minim. Ketika merokok di tempat publik, mereka telah mengurangi fungsi tempat publik itu dan melanggar hak publik pula, yaitu hak untuk mendapatkan udara yang sehat dan bersih.
Keempat, larangan merokok di tempat umum, secara kultural belum merupakan habit positif bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat juga memerlukan teladan. Contohnya, Pemprov DKI Jakarta tidak akan bisa berharap banyak atau bahkan "memaksa" masyarakat agar mematuhi Perda PPU, ketika aparat pemprov justru mempertontonkan pelanggaran di depan masyarakat. Datang saja ke kantor kelurahan/kecamatan di wilayah Jakarta, pasti masih banyak petugas kelurahan yang merokok di dalam ruangan.
Terlepas dari tidak berdayanya kedua aturan itu, situasi di negeri ini memang "kacau". Ketika negeri lain begitu getol menanggulangi dampak tembakau bagi kesehatan, negeri ini justru makin kuat menyandang gelar "negeri keranjang sampah nikotin". Ke depan, PP No 19/2003 dan Perda PPU tidak akan mengalami perbaikan nasib secara signifikan, bahkan bisa jadi akan makin terpuruk. Gerakan industri rokok dan konco-konco dekatnya begitu liar mengepung semua penjuru mata angin. Jangankan hanya berupa PP dan Perda, peraturan dan kebijakan yang lebih tinggi pun mudah ditendangnya.
Sungguh ironis, industri yang jelas-jelas memproduksi dan memasarkan produk bermasalah, malah kita perlakukan sebagai "raja midas". Harapan agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan atau membuat Undang-Undang tentang Penanggulangan Dampak Tembakau bagi Kesehatan, yang saat ini sudah mengantongi dukungan 224 anggota DPR (40,7 persen); sepertinya masih jauh panggang dari api. Peraturan yang sudah ada pun, PP No 81/1999 dan Perda PPU, hanya menjadi macan kertas belaka.
sumber: Suara Pembaharuan, 31 Mei 2007