Konsumsi tembakau mengancam hidup generasi muda. Sayangnya, belum ada regulasi yang mengendalikan dampak produk tembakau bagi kesehatan. Karena itu, sejumlah pihak mendesak pemerintah dan DPR agar responsif terhadap Kerangka Hukum Pengendalian Produk Tembakau (FCTC) dengan menyiapkan kerangka kebijakan nasional.
Demikian pernyataan bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS), dan Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dalam jumpa pers, Senin (18/6), di Kantor YLKI, Jakarta Selatan.
Secara global, konsumsi rokok menyebabkan lima juta kematian per tahun. Diperkirakan, kematian akan dua kali lipat pada tahun 2020 jika tidak ditanggulangi. "Epidemi merokok terjadi karena liberalisasi perdagangan, penanaman modal asing, dan pemasaran global," ujar Tulus Abadi dari YLKI.
"Tembakau juga mengancam hak hidup anak," kata Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak Muhammad Joni. Survei global tahun 2006 menemukan tiga dari 10 siswa mencoba merokok di bawah usia 10 tahun. Ini akibat gencarnya promosi rokok.
Sementara riset oleh KuIS di Jakarta menunjukkan, perokok pasif belum menganggap penting hak sehatnya dilindungi dari asap rokok, tidak berdaya, belum bisa bersikap asertif, dan cenderung pasif. Padahal, sekitar 40,6 persen responden perokok pasif berada di dekat perokok aktif beberapa kali dalam sehari.
Untuk itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah membuat kerangka hukum pengendalian produk tembakau, yang tertuang dalam FCTC yang sudah diratifikasi oleh 147 negara, dari 168 negara anggota WHO.
Sayangnya, Pemerintah Indonesia yang terlibat aktif dalam pembahasan draf FCTC itu justru tidak menandatangani naskah itu. Untuk itu, organisasi nonpemerintah mendesak pemerintah dan DPR responsif terhadap FCTC. DPR juga perlu membahas draf Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan. (EVY)
sumber: kompas tgl 19 Juni 2007