DALAM kepulan asapnya terkandung setidaknya 4.000 racun zat kimia berbahaya, dan 43 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu, di antaranya adalah tar, karbon monoksida (CO), nikotin, aseton (cat), hingga ammonia (pembersih lantai) dan toluene (pelarut industri).
Oleh WHO (World Health Organization) merokok bahkan disebut sebagai pembunuh nomor dua di dunia. Setengah dari orang yang merokok secara rutin, saat ini jumlahnya sekitar 650 juta orang, akan meninggal gara-gara tembakau. Tidak kalah mengerikan, ratusan ribu orang bukan perokok, walaupun juga sering disebut perokok, ikut menanggungnya. Mereka meninggal karena terpaksa harus ikut menyerap asap yang dikeluarkan para perokok.
Asap rokok adalah faktor utama penyebab penyakit jantung koroner. Selain itu berakibat buruk bagi pembuluh darah otak dan perifer. Dari 11 juta kematian per tahun di negara industri maju, WHO melaporkan lebih dari setengah--sebanyak 6 juta di antaranya--disebabkan gangguan sirkulasi darah dengan 2,5 juta adalah penyakit jantung koroner dan 1,5 juta adalah stroke.
Karena itu, tak salah jika kampanye hidup sehat dengan menjauhi rokok gencar dilakukan pihak-pihak yang peduli dengan kesehatan. Yang menjadi pertanyaan kini adalah seberapa efektifkah kampanye dan momen peringatan hari tanpa rokok tersebut bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan?
Kondisi di Indonesia
Publikasi Kantor WHO untuk Asia Tenggara mengenai Kecenderungan Penggunaan Rokok di Indonesia 2001 (Prevalence of Tobacco Use in Indonesia, 2001) menunjukkan konsumsi rokok di Indonesia cenderung meningkat setiap dasawarsanya.
Jika pada 1970 konsumsi rokok per kapita di Indonesia sebesar 469 batang, jumlah tersebut melonjak menjadi lebih dari 100% pada periode 1980 dengan 942 batang. Kecenderungan peningkatan itu tetap terjadi pada dasawarsa-dasawarsa selanjutnya meski angka persentasenya tidak sebesar 1980. Tercatat untuk periode 1990 dan 2000, konsumsi rokok per kapita Indonesia meningkat menjadi masing-masing 1.145 batang dan 1.434 batang (lihat grafik).
Dari data tersebut secara sekilas bisa dilihat bahwa kampanye antirokok belum berhasil memengaruhi tingkah laku merokok masyarakat Indonesia. Padahal, berbagai kampanye antirokok cukup gencar menyosialisasikan berbagai dampak negatif merokok bagi kesehatan, termasuk bagi pengeluaran rumah tangga.
Dampak negatif merokok, sebagaimana yang dilaporkan Tim Penanggulangan Masalah Tembakau Departemen Kesehatan RI, sedikitnya 9,2% dari 3.300 kematian pada 2001 disebabkan tembakau. Lebih lanjut, saat ini sedikitnya 57% rumah tangga di Indonesia mempunyai satu perokok yang hampir seluruhnya (91,8%) merokok di rumah. Akibatnya tandas laporan WHO, sedikitnya 43 juta anak di Indonesia berusia 0-14 tahun terkena paparan asap rokok yang akan berpengaruh pada mudahnya anak-anak tersebut terkena infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga tengah serta asma.
Sementara itu, dampak negatif merokok bagi pengeluaran rumah tangga dibuktikan hasil analisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik 2003. Biaya yang dikeluarkan penduduk Indonesia untuk rokok menurut laporan tersebut adalah dua setengah kali lebih besar daripada biaya pendidikan dan tiga kali lebih besar daripada anggaran kesehatan. Itu belum termasuk biaya pengobatan yang harus dikeluarkan akibat terganggunya kesehatan karena merokok.
Konvensi pengendalian tembakau
Kampanye antirokok melalui peringatan Hari tanpa Tembakau Sedunia dan sosialisasi bahaya merokok tidak akan efektif tanpa dukungan dari pemerintah selaku regulator industri, termasuk industri rokok. Pemerintah Indonesia selama ini memang bersikap gamang dalam menyikapi masalah ini. Hal ini tampak dari penolakan pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Pengendalian Tembakau.
FCTC merupakan perjanjian kesehatan internasional pertama yang perundingannya diprakarsai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). FCTC telah diresmikan menjadi hukum internasional pada 27 Februari 2005. Hingga hari ini, sebanyak 147 negara dari 168 negara telah meratifikasi FCTC. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk dalam kelompok negara yang meratifikasi FCTC. Di wilayah Asia, hanya Indonesia yang belum meratifikasinya. Padahal, Indonesia telah terlibat dalam pembuatan draf konvensi ini.
Indonesia masih merasa belum mampu/konsisten untuk memenuhi persyaratannya. Satu sisi, melalui beberapa pemerintah daerah telah dikeluarkan peraturan-peraturan untuk membatasi/melarang merokok. Misalnya Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang mulai diberlakukan April 2005. Dalam peraturan tersebut rokok menjadi salah satu pencemar udara. Karena itu, diperlukan aturan bagaimana cara merokok.
Daerah lain yang juga membuat peraturan serupa adalah Kota Bandung. Melalui Perda tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan, yang merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar-mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum akan dikenai denda.
Namun, peraturan tinggal peraturan. Walau dengan masa sosialisasi yang cukup lama, lebih dari setahun, peraturan-peraturan daerah yang membatasi merokok tidak berjalan dengan baik. Para perokok masih bebas mengepulkan asapnya, tanpa harus khawatir didenda atau dipenjara. Saat melihat pelanggaran tersebut pemerintahnya pun seakan tidak peduli.
Ketidakpedulian pemerintah dengan peraturan yang dibuatnya sendiri bisa dijelaskan antara lain dengan betapa besarnya sumbangan rokok terhadap penerimaan negara. Termasuk kemampuan industri ini menyerap tenaga kerja. Direktorat Bea Cukai memublikasikan sumbangan cukai terhadap pendapatan negara 2005 mencapai Rp29,3 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% diperoleh dari cukai rokok.
Di APBN 2006, penerimaan cukai ditargetkan Rp36,5 triliun. Target ini lantas direvisi di APBN-P 2006 menjadi Rp38,5 triliun. Realisasi akhir tahunnya mencapai Rp37,9 triliun atau hanya meleset 1,6% senilai Rp600 miliar. Pada 2007 penerimaan dari cukai ditargetkan sebesar 42,5 triliun. Penaikan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 7% yang berlaku 1 Maret 2007 dan pemberlakuan tarif spesifik Rp7, Rp5, dan Rp3 per batang mulai 1 Juni 2007 dipercaya akan mendongkrak penerimaan negara hingga Rp2,5 triliun.
Dalam hal kemampuan menyerap tenaga kerja, data Ditjen KPI menyebutkan sekitar 6,4 juta orang bekerja di industri rokok dan berbagai sektor terkait seperti industri kertas rokok dan permesinannya. Sementara itu, tercatat sebanyak 20 juta orang kehidupannya bergantung pada industri rokok.
Maka, tak mengherankan jika pemerintah Indonesia tak kunjung meratifikasi FCTC. Jika meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan terikat secara hukum antara lain dalam hal peningkatan cukai dan harga rokok, pengaturan iklan secara komprehensif termasuk promosi dan sponsor rokok, serta penyelundupan (lihat tabel). Berbagai peraturan tersebut dikhawatirkan akan menurunkan pemasukan negara.
Padahal, jika mau dikaji lebih lanjut, kekhawatiran tersebut tak cukup beralasan. Dalam laporan Pengendalian Tembakau 2003 yang dikeluarkan Bank Dunia, pengendalian tembakau termasuk rokok bisa dilakukan justru melalui peningkatan cukai dan harga rokok. Peningkatan cukai bermanfaat bagi kesehatan masyarakat karena menurunkan konsumsi rokok, sekaligus bermanfaat bagi perekonomian karena dapat menaikkan penerimaan negara.
Laporan tersebut membuktikan penaikan harga produk tembakau sebesar 10% akan menurunkan tingkat permintaan global sebesar rata-rata 4%-8% dan dapat mencegah sedikitnya 10 juta kematian. Selain itu, penaikan harga produk tembakau sebesar 10% juga akan menaikkan seluruh penerimaan pemerintah rata-rata sebesar 7%. Pemerintah Indonesia pun sebenarnya sudah mengetahuinya. Buktinya target penerimaan dari cukai ditingkatkan tahun ini karena penaikan HJE.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC karena langkah itu terbukti akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan pemerintah sendiri.
(Dudi Herlianto/Litbang Media Group)