Kebiasaan merokok konon berasal dari benua Amerika. Tahun 600 sebelum Masehi, tembakau mulai ditanam di Amerika. Tahun 1 penduduk setempat mulai merokok. Ketika Columbus menginjakkan kakinya di Dunia Baru itu pada tahun 1492, dia menemui penduduk-penduduk asli yang telah menghisap sejenis daun-kering (tembakau) yang disulut dan dihirup asapnya. Lama kelamaan pendatang-pendatang baru itu mulai ikut-ikutan pula. Jean Nicot, seorang turunan Perancis, mendatangkan bibit tembakau ke Paris , untuk memulai kultivasi tembakau di Eropah. Dari namanyalah berasal kata nicotine, suatu alkaloida yang terkandung dalam tembakau. Dari Eropah, kemudian kebiasaan merokok ini menyebar keberbagai pelosok dunia, termasuk ke Hindia Belanda.
Di tanah air kita, Indonesia rupanya, rupanya tembakau ini mendapat sambutan yang baik sehingga cepat sekali menjadi bagian dari budaya setempat, sehingga gaya hidup dan kultur merokok di Indonesia menjadi sesuatu yang unik pula dan perlu diberi catatan dalam buku ini.Konsumsi tembakau di Indonesia mengalami peningkatan yang tajam dalam 30 tahun terakhir ini. Dari 33 milyar batang per tahun pada 1970 meningkat menjadi 200 milyar per tahun pada tahun 2000. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke 5 dunia setelah Cina, Amerika , Russia dan Jepang dalam tingkat agregat konsumsi tembakau tertinggi di dunia.
Demikian hasil yang diperoleh dalam pertemuan konsultasi antara sektor kesehatan dan sektor keuangan yang diikuti oleh negara-negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara dan perwakilan Bank Dunia di Jakarta, tahun 2003 yl. [1] Dalam pertemuan itu juga terungkap, sebagai negara produsen tembakau, pada tahun 2002 Indonesia berada pada urutan ke 7 dengan memproduksi sebanyak 144.700 ton tembakau atau sekitar 2,3 % dari total produksi dunia (6.340.620 ton). Iklim ekonomi merupakan faktor yang ikut pula berperan meningkatkan konsumsi tembakau. Meski dalam keadaan krisis ekonomi, konsumsi tembakau terus meningkat. Bahkan hasil penelitian yang dilakukan WHO menyebutkan makin rendah penghasilan, makin tinggi prevalensi merokoknya. Sebanyak 62,9 % pria berpenghasilan rendah merokok secara teratur dibandingkan dengan 57,4 % pria berpenghasilan tinggi. Konsumsi rokok di kalangan pria berumur 10-14 tahun mencapai 0,7 &, pria usia 15-10 tahun mencapai 24,2 % dan pria usia 20-24 tahun mencapai 60,1 %.
Seorang pecandu rokok pernah mengaku bahwa ia tidak dapat berpisah dari rokok kesayangannya. Dia menjadi tergantung pada benda itu untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya. Dan benda itu selalu ‘setia’ kepadanya, selalu ada dikala dibutuhkan, dan ini merupakan ciri seorang ‘sahabat’. Kalau demikian, rokok itu adalah kawan kita, tetapi mengapa begitu banyak dihujat, dibenci, bahkan diajukan ke pengadilan sebagai ‘terdakwa’. Apakah dia ‘musuh’ kita ?
Beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca sebuah artikel yang mengulas dilema ini dalam sebuah harian ibukota oleh Tuty Yosenda, seorang dosen di Malang , yang sangat menyentuh dan relevan dengan pertanyaan ini, sehingga kami kutip dalam beberapa bagian bab ini. [2]
Seperti disebut dibagian depan, mungkin saja rokok itu memenuhi beberapa syarat seorang sahabat. Seperti kata artikel Tuty Yosenda tsb: ‘Mungkin saja rokok itu bagai sobat sejati yang setia menjadi teman dikala suka dan duka. Bisa membuai, bahkan menyemangati, atau membuat kita melupakan masalah dan kesedihan, atau menghilangkan rasa sepi. Memberikan inspirasi, dan mengantar pada privacy yang mengasyikkan. Dengan kehebatan ini, andaikan rokok itu manusia, tidak mengherankan kalau dia populer dan memiliki banyak ‘pengagum’. Betapa banyak orang yang membelanya, lalu menganggap segala usaha mempersoalkan atau membatasi ‘persahabatan’ ini amat keterlaluan! Bagai layaknya para pecinta, mereka menanggapi argumen yang menyudutkan ‘sang kekasih’ dengan kalimat romantis.’ Apapun kekuranganmu, aku akan tetap setia.’ Kesetiaan ini pulalah yang banyak diangkat dalam beberapa iklan rokok belakangan ini, terutama bagi orang-orang yang cenderung suka ‘menyendiri, atau a ‘loner’. Pribadi yang seperti ini sering hanya dapat melarikan diri dari kenyataan hidup, dari berbagai masalah yang menggunung, dan yang lebih baik dilupakan dengan ‘mojok’ bersama sebungkus rokok.’ Persahabatan manusia dan rokok tidaklah setimpal, demikian kata Tuty, karena rokok menuntut terlalu banyak dari manusia itu. Manfaat yang diberikan rokok tidak pernah bertambah, bahkan sebaliknya seseorang harus selalu merokok, atau berkorban, lebih banyak lagi untuk mendapatkan kenikmatan yang sama. Jika pada mulanya orang merokok demi kenikmatan, lambat laun ia akan merokok demi mengurangi penderitaan akibat tekanan fisik, psikis, konflik atau sakit. Hasrat ini sedemikian besar, memaksa, berulang dan impulsif. Inilah saat dimana seseorang disebut kecanduan, tergantung secara fisik maupun psikologis terhadap sesuatu. Ia sudah kehilangan kemerdekaannya. Akal sehatnya sudah tidak lagi digubris, karena desakan sistem-sistem tubuh yang sudah terjajah nikotin lebih terasa dominan. Semua omongan orang tidak ada artinya lagi. Sekalipun anak-anaknya sudah berulangkali merengek-rengek agar ayahnya (atau ibu) jangan merokok lagi, semua itu tidak didengar lagi. Ada kalanya sampai harus mencuri-curi waktu dan tempat agar dapat melepas rindu kepada ‘sahabat’ yang sudah memperbudaknya itu. Benarkah rokok itu ‘sahabat’ sejati ? Jika setia setiap saat merupakan ukuran kesejatian sahabat, nampaknya rokok memenuhi persyaratan itu. Tetapi seorang sahabat yang setia perlu konsisten dalam kesetiaan dan ketulusan. Tuty bertanya, apakah rokok itu sahabat yang tulus? Benarkah yang selalu ada ada saat kita memerlukannya itu tulus, tidak mempunyai maksud terselubung? Bisakah ia dipercaya? Bisakah ia menerimamu sebagaimana adanya? Memperlakukanmu secara adil. Tidak menuntut dan mendominasi? Semua pertanyaan ini memperlakukan rokok sebagai persona yang punya kemauan sendiri, dan bukan sebagai benda mati, yang tentu ada dimana saja kita mau karena dia adalah benda mati yang kita buat menjadi ‘sahabat’ kita.
Kita memang bebas memilih untuk menjadi homo sapiens yang bertindak karena desakan internal. Atau menjadi homo mechanicus yang digerakkan oleh desakan lingkungan. Tapi marilah kita kembali ke fitrah suci yang hanya dimiliki oleh mahluk bernama manusia, menjadi homo sapiens, manusia yang berkehendak bebas dan hanya tunduk pada pertimbangan akal sehat dan hati nurani. Sebab menghormati kebebasan dan peranan akal sehat, berarti mensyukuri karunia Tuhan yang paling besar yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian mengabaikan keputusan akal sehat berarti menjadi tiran bagi diri sendiri, bahkan mungkin juga bagi orang lain, demikian Tuty Yosenda menjelaskan.
Suatu pilihan yang bisa sulit, bisa sederhana. Tetapi lebih sering menajdi sulit kalau ratio yang kita miliki tidak mulai dari titik nol. Biasanya pilihan itu disadari sesudah kita terlambat, pada saat kita sudah masuk dalam kultur merokok yang sudah melanda masyarakat kita. Terlebih apabila akal kita sering dikendalikan oleh nafsu, dan bila sistem tubuh sudah dikendalikan oleh unsur biokimia yang membelenggu tubuh kita, maka diperlukan kemauan yang kuat untuk dapat mengendalikan perilaku merokok kita. Bukan justru perilaku kita yang dikendalikan oleh rokok yang telah memperbudak kita. Dan kita dapat menjawab, apakah itu persahabatan sejati ?
MENGAPA MEROKOK ?
'I DON'T know why I did it, I don't know why I enjoyed it, and I don't know why I'll do it again.' Bart Simpson, The Simpsons
A match does not on an iceberg ignite nor does a waterdrop survive in a forest fire . We are influenced by the company we keep.
Saiom Shriver
Mengapa seseorang merokok ?
Faktor-faktor penyebab merokok dapat dibagi dalam beberapa golongan sekalipun sesungguhnya faktor-faktor itu saling berkaitan satu sama lain.
1. Faktor genetik.
Beberapa studi menyebut faktor genetik sebagai penentu dalam timbulnya perilaku merokok dan bahwa kecenderungan menderita kanker, ekstraversi dan sosok tubuh piknis, serta tendensi untuk merokok adalah faktor yang diwarisi bersama-sama. Studi menggunakan pasangan kembar membuktikan adanya pengaruh genetik, karena kembar identik, walaupun dibesarkan terpisah, akan memiliki pola kebiasaan merokok yang sama bila dibandingkan dengan kembar non-identik. Akan tetapi secara umum, faktor turunan ini kurang berarti bila dibandingkan dengan faktor lingkungan dalam menentukan perilaku merokok yang akan timbul.
2. Faktor kepribadian (personality)
Banyak peneliti mencoba menetapkan tipe kepribadian perokok. Tetapi studi statistik tak dapat memberi perbedaan yang cukup besar antara pribadi orang yang merokok dan yang tidak. Oleh karena itu tes-tes kepribadian kurang bermanfaat dalam memprediksi apakah seseorang akan menjadi perokok. Lebih bermanfaat adalah pengamatan dan studi observasi dilapangan. Anak-sekolah yang merokok menganggap dirinya, seperti orang lain juga memandang dirinya, sebagai orang yang kurang sukses dalam pendidikan. Citra ini kebanyakan benar. Siswa yang merokok sering tertinggal dalam pelajaran. Mereka juga lebih mungkin untuk drop-out lebih dini daripada yang tidak merokok, dan lebih membangkang terhadap disiplin, lebih sering bolos dan bersikap bebas dalam hal seks. Mereka agaknya bernafsu sekali untuk cepat berhak seperti orang dewasa. Diperguruan tinggi hal yang serupa juga teramati. Mereka biasanya memiliki prestasi akademik kurang, tanpa minat belajar dan kurang patuh pada otoritas. Asosiasi ini sudah secara konsisten ditemukan sejak permulaan abad ini. Dibandingkan dengan yang tidak merokok, mereka lebih impulsif, haus sensasi, gemar menempuh bahaya dan risiko dan berani melawan penguasa. Mereka minum teh dan kopi dan sering juga menggunakan obat termasuk alkohol. Mereka lebih mudah bercerai, beralih pekerjaan, mendapat kecelakaan lalulintas, dan enggan mengenakan ikat pinggang keselamatan dalam mobil.Banyak dari perilaku ini sesuai dengan sifat kepribadian extrovert dan antisosial yang sudah terbukti berhubungan dengan kebiasaan merokok.
3. Faktor sosial.
Beberapa penelitian telah mengungkap adanya pola yang konsisten dalam beberapa faktor sosial penting. Faktor ini terutama menjadi dominan dalam mempengaruhi keputusan untuk memulai merokok dan hanya menjadi faktor sekunder dalam memelihara kelanjutan kebiasaan merokok. Kelas sosial, teladan dan ijin orangtua serta kakak-kakak, jenis sekolah, dan usia meninggalkan sekolah semua menjadi faktor yang kuat, tetapi yang paling berpengaruh adalah jumlah teman-teman yang merokok. Diantara anak laki-laki yang menyatakan 'tidak ada' temannya yang merokok, ternyata tidak ditemukan anak yang merokok, dibandingkan dengan jumlah 62 persen perokok di kalangan anak-anak yang menjawab 'semua' pada jumlah teman yang merokok. Ilustrasi lain dari pengaruh sosial ini ditunjukkan oleh perubahan dalam pola merokok di kalangan wanita berusia di atas 40 tahun. Bukan saja jumlah mereka semakin banyak, tetapi mereka merokok lebih berat dan mulai merokok pada usia yang lebih muda. Masa kini, terutama pada wanita muda, pola merokok mereka sudah menyerupai pada laki-laki. Perubahan ini sejalan dengan perubahan peran wanita dan sikap masyarakat terhadap wanita yang merokok.
4. Faktor kejiwaan (psikodinamik).
Dua teori yang paling masuk akal adalah bahwa merokok itu adalah suatu kegiatan kompensasi dari kehilangan kenikmatan oral yang dini atau adanya suatu rasa rendah diri yang tak nyata. Freud, yang kebetulan juga pecandu rokok berat, menyebut bahwa pada sebagian anak-anak terdapat 'peningkatan pembangkit kenikmatan di daerah bibir' yang bila berkelanjutan dalam perkembangannya akan membuat seseorang mau merokok. Ahli lainnya berpendapat bahwa merokok adalah semacam pemuasan kebutuhan oral yang tidak dipenuhi semasa bayi. Teori ini ditunjang dengan pengamatan akan adanya hubungan antara perilaku merokok dengan kebiasaan menggigit kuku, mengunyah permen karet dan kebiasaan makan minum yang berlebihan. Kegiatan ini biasanya dilakukan sebagai pengganti merokok pada mereka yang sedang mencoba berhenti merokok. Suatu asosiasi telah ditemukan antara kemampuan berhenti merokok dengan usia mulai disapih. Mereka yang mudah berhenti merokok ternyata disapih pada usia sekitar 7-8 bulan, sedangkan yang sukar berhenti, dahulu disapih pada usia sekitar 4,7 bulan.
5. Faktor sensorimotorik
Buat sebagian perokok, kegiatan merokok itu sendirilah yang membentuk kebiasaan tersebut, bukan efek psikososial atau farmakologiknya. Sosok sebungkus rokok, membukanya, mengambil dan memegang sebatang rokok, menyalakannya, mengisap (menyedot/inhalasi) , mengeluarkan sambil mengamati asap rokok, aroma, rasa dan juga bunyinya - semua berperan dalam terciptanya kebiasaan ini. Dalam suatu penelitian ternyata lebih dari 11 persen menganggap aspek-aspek ini penting buat mereka. Hal ini juga jelas terlihat dalam perilaku seorang pengisap pipa- yang secara tekun melakukan 'upacara' mencabut, membersihkan, mengetuk-ngetuk, mengisi tembakau dan akhirnya menyulutnya dengan cara khas pula, walaupun pada kesudahannya hanya ditutup dengan satu atau dua isapan saja.
6. Faktor farmakologis.
Seorang yang mengisap sigaret memasukkan atau menyerap sekitar 0,05 hingga 0,15 mg nikotin pada setiap tarikan atau isapan atau sejumlah 1 hingga 2 mg perbatang rokok. Perokok yang tidak menyedot juga tetap menyerap sedikit nikotin dari hidung dan mulutnya, terutama pengisap pipa dan cerutu. Semenjak masuknya tembakau ke Eropah diabad ke 16 pemakaian tembakau silih berganti, dikunyah, disedot dengan hidung (snuffing) dan dihisap; yang pasti tidak ada kelompok populasi yang berhenti menggunakan tembakau tanpa menggantinya dengan cara lain. Beberapa studi menunjukkan bahwa nikotin memegang peranan penting dalam perilaku merokok. Misalnya, bila seorang perokok tidak akan dipuasi, bahkan mungkin mengalami sindroma penarikan (withdrawal) bila diberikan rokok bernikotin rendah. Rokok rendah nikotin yang saat ini ada di pasaran ternyata tidak populer; karena hal yang jelas yaitu kurang nikotin. Dibutuhkan mengisap sedikitnya 5 batang rokok semacam itu untuk memperoleh kadar nikotin dalam darah seperti bila merokok jenis yang populer dan biasa diisapnya. Dalam dua percobaan ditemukan bahwa perokok secara tak sadar merubah pola merokoknya, dengan mengatur kecepatannya supaya menjaga asupan nikotin yang cukup. Juga bila mengisap rokok bernikotin tinggi mereka akan memperlambat jarak mengisapnya dan mempercepatnya bila mengisap rokok bernikotin rendah. Juga dalam situasi bekerja yang normal seseorang akan kurang merokoknya bila memakai merek bernikotin tinggi, tetapi akan lebih sering merokok bila memakai merek bernikotin rendah. Kadar nikotin dalam darah sesudah merokok berbeda-beda bagi setiap orang, terapi bagi setiap perokok kadar ini mencapai derajat yang hampir selamanya konsisten setiap hari dan saat-saat yang berbeda dalam satu hari, suatu hal yang membuktikan ketergantungan bagi perokok untuk menjaga kadar nikotin darahnya. Tetapi dalam satu studi dibuktikan bahwa sesungguhnya seorang perokok masih dapat mentolerir dengan mudah bila kadar nikotin itu dikurangi dari 1,4 mg hingga 1 mg.
Melihat adanya hubungan erat dalam kadar nikotin dan tar dalam sigaret. maka kurang dapat dipastikan apakah nikotin atau sesuatu dalam tar yang menentukan timbulnya kebiasaan merokok. Tetapi, melihat fakta dimana rasa ingin merokok (lapar rokok) dan jumlah konsumsi rokok berkurang dengan pemberian injeksi nikotin, dan kenyataan bahwa menyedot atau mengunyah tembakau dapat menggantikan merokok, agaknya nikotinlah yang menjadi biang keladi utamanya. Dalam percobaan binatangpun, ternyata monyet dan tikus dapat dilatih untuk memberi dirinya suntikan nikotin, suatu petunjuk bahwa mereka menemukan keniknmatan dalam tindakan itu. Belum ada bukti positif bahwa komponen tembakau lainnya seperti CO dan tar memberi kenikmatan seperti itu, walaupun bagi CO terdapat dampak farmakolgis pada tingkatan yang ditemukan pada perokok, sedangkan tar dalam rokok lebih menentukan pada rasanya rokok itu.
Kita belum mengetahui efek nikotin mana pada manusia dan binatang yang menimbulkan perasaan puas, atau mana yang menimbulkan ketergantungan. Nikotin mencapai otak dalam waktu singkat, mungkin pada menit pertama sejak disedot. Cara kerja bahan ini sangat kompleks. Pada dosis sama dengan yang didalam rokok, bahan ini dapat menimbulkan stimulasi dan rangsangan di satu sisi tetapi juga relaksasi di sisi lainnya. Efek ini tergantung bukan saja pada dosis dan kondisi tubuh seseorang , tetapi juga pada suasana hati (mood) dan situasi. Oleh karena itu bila kita sedang marah atau takut, efeknya adalah menenangkan; tetapi dalam keadaan lelah atau bosan, bahan itu akan merangsang dan memacu semangat. Dalam pengertian ini nikotin berfungsi untuk menjaga keseimbangan mood dalam situasi stres. Akhirnya, juga ditemukan bahwa kemampuan obat-obat psikoaktif tertentu untuk menimbulkan ketergantungan terletak pada daya kerjanya pada pusat-pusat tertentu didalam otak. Aktivitas di daerah itu dipengaruhi oleh dilepaskannya catecholamin (misalnya noradrenalin) , dan seperti kita ketahui bahwa nikotin dalam dosis merokok normal dapat menyebabkan dilepaskannya catecholamin pada pusat-pusat tersebut pula.
Ketergantungan fisik akan rokok
Sifat ketergantungan akan rokok sering di salah-artikan seolah-olah melulu bersifat psikologis. Ketergantungan psikologis ada 2 macam. Pertama adalah murni ketergantungan kejiwaan akan sesuatu benda tanpa adanya pengaruh obat-obatan - misalnya ketergantungan bayi pada ibunya, atau ketergantungan seorang penjudi untuk memasang taruhan. Jenis kedua adalah ketergantungan psikis terhadap pengaruh suatu obat - misalnya efek penenang dari alkohol atau kenikmatan menyedot nikotin dari sebatang rokok. Bila objek atau efek ini tidak dirasakan maka akan timbul ketegangan dan rasa kehilangan yang semakin kuat, sehingga gejala-gejalanya dipandang kejiwaan karena pengalaman itu sangat mirip tak memandang apakah yang diinginkan itu efek farmakologisnya atau bukan. Secara konseptual hal ini dapat membingungkan karena kedua jenis ketergantungan psikis ini dimungkinkan oleh terjadinya perubahan dalam kegiatan listrik pada otak dan dalam hal ini bersifat 'fisik'. Akan tetapi bukan karena ini digunakan istilah 'ketergantungan fisik'. Dua kriteria diperlukan untuk menyebutnya sebagai ketergantungan fisik, yakni adanya toleransi dan sindroma penarikan (withdrawal syndrome). Perubahan adaptif terjadi pada simpul-simpul saraf yang memungkinkan hantaran impuls sekalipun terdapat efek hambatan dari obat ; inilah yang disebut toleransi. Apabila efek inhibitori dari obat ini sekonyong-konyong ditiadakan maka akan terjadi kegiatan balik yang berlebihan pada simpangan-simpangan saraf ini yang mengakibatkan terjadinya sindroma penarikan. Hal ini secara subjektif sangat tidak nyaman dan sebagai penawarnya atau pencegahnya pemberian nikotin akan merupakan pendorong untuk selalu berusaha memperolehnya. Disamping itu ada pula suatu jenis toleransi, yakni kapasitas tubuh yang meningkat untuk menetralisir pengaruh obat. Namun hal ini tidak berkaitan dengan sindroma penarikan dan juga tidak membangkitkan dorongan psikis tersendiri.
Toleransi terhadap nikotin dan pengaruh penarikannya.
Sewaktu mengisap rokok pertama kalinya sebagian besar orang mengalami gejala seperti palpitasi, pusing, keringat, mual dan muntah. Namun pada kesempatan berikutnya., bila mereka mengulanginya, mereka akan mempunyai toleransi terhadap nikotin, dan sesudah suatu periode 2 atau 3 tahun pola merokok biasanya berubah sehingga tubuh selalu memperoleh asupan nikotin yang cukup tinggi.
Sindroma penarikan nikotin terjadi pada hampir setiap orang yang berhenti merokok. Selain rasa ingin merokok yang hebat sekali, dan rasa tegang, mudah tersinggung, gelisah, depresi dan kesukaran memusatkan perhatian, kadang-kadang juga dialami gejala objektif seperti turunnya denyut nadi dan tekanan darah, gangguan sistim pencernaan seperti konstipasi, serta tidur tak nyenyak, kelambanan mengendara mobil dan tugas-tugas lain, serta perubahan rangsang listrik di otak.
Jelaslah bahwa efek farmakologis memegang peranan yang dominan dalam berlanjutnya kebiasaan merokok dan bahwa kebanyakan orang merokok karena mereka tergantung pada nikotin. Selanjutnya, ketergantungan nikotin tidak selamanya bersifat kejiwaan. banyak perokok yang memenuhi kriteria akan adanya ketergantungan fisik - yaitu adanya toleransi dan pengaruh fisik dari sindroma penarikan.
Tujuh jenis motivasi merokok
Pada masa lalu perokok diklasifikasikan secara singkat sebagai perokok berat atau ringan, perokok penyedot (inhaler) atau bukan, perokok teratur atau sekali-sekali. Namun deskripsi kasar ini tidak menyatakan mengapa seseorang merokok. Namun kini telah diusahakan mengembangkan model-model psikologis dari perilaku merokok dengan menggunakan analisis statistik dari data yang berasal dari kuestioner motivasi merokok. Sebagai hasil dari studi ini kini terdapat kesepakatan tentang adanya tujuh jenis motivasi merokok.
1. Alat pergaulan (psikososial).
Merokok pada situasi sosial dan menggunakan nilai simbolis dari tindakan merokok ini untuk meningkatkan kehidupan bersosial.
2. Kepuasan saraf (sensorimotor).
Merokok untuk kepuasan pada mulut, sensorik dan manipulasi rokok itu sendiri.
3. Sumber kenikmatan (indulgent).
Merokok untuk memperoleh kenikmatan dan menambah kegembiraan dan kesenangan yang sudah ada. Inilah jenis yang paling umum. Dua atau tiga jam dapat berlalu tanpa keinginan untuk merokok, namun pada situasi bergembira dapat lebih sering.
4. Penenang (sedatif).
Merokok untuk menghilangkan perasaan tak enak, bukan untuk kenikmatan. Perasaan lega kadang-kadang juga timbul karena kegiatan sensorimotor seperti rasa tenang bila mengelus-elus rokok sebelum disulut, namun umumnya rasa lega timbul sebagai efek sedatif dari nikotin yang bekerja.
5. Perangsang (stimulasi).
Efek stimulan dari nikotin dipakai untuk 'mengangkat' atau memacu semangat, membantu berfikir dan konsentrasi, mencegah kelelahan dan mempertahankan kinerja pada tugas yang monoton dan lama, serta meningkatkan kemampuan dalam situasi stres.
6. Memenuhi kecanduan (addiktif).
Merokok semata-mata untuk memenuhi tuntutan atau mencegah terjadinya sindroma penarikan, yang akan timbul apabila seorang perokok telah meliwatkan 30-40 menit atau kurang tanpa rokok.
7. Keterbiasaan (otomatis).
Ini terjadi pada sebagian perokok berat yang dengan tak disadari lagi secara otomatis akan mencari sebatang rokok. Ini baru disadari hanya jika tangannya sudah kosong, yakni tidak memegang rokok.
Perilaku psikososial, sensorimotor dan sumber kenikmatan biasanya digolongkan dalam kelompok non-farmakologis, sedangkan selebihnya sudah termasuk kelompok ketergantungan obat. Namun terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa seseorang dapat beralih dari tipe psikososial, melalui tipe pencari kenikmatan hingga menjadi bentuk-bentuk ketergantungan akan nikotin.
Mulainya perilaku merokok.
Belajar merokok biasanya terjadi pada usia kanak-kanak atau menjelang dewasa. Biasanya gejala ini terjadi sebelum usia 20 tahun; biasanya bila hingga usia tersebut seseorang masih belum merokok, dia tidak akan pernah menjadi perokok. Motif untuk merokok biasanya psikososial dan sering merupakan gabungan dari 2 motivasi utama yaitu banyaknya teman sebaya yang merokok dan antisipasi kedewasaan sedangkan dua faktor penghalang adalah ketidaksetujuan orangtua dan takut akan kanker paru-paru. Beberapa rokok pertama biasanya tidak dirasakan enak, dan jelaslah bahwa kebutuhan akan nikotin, yang sudah terbukti menjadi biang keladi ketergantungan ini, bukanlah menjadi sebab seseorang mulai merokok. Tetapi lama kelamaan didapatkan kemampuan membatasi asupan rokok hingga batas yang dirasakan nyaman dan kemudian dicapai suatu tingkat toleransi terhadap rasa tak enak itu, yang akan menurunkan nilai ambang untuk tindakan merokok berikutnya. Kedua faktor penghalang penting (rasa tak enak dan efek nikotin yang tak nyaman) ini hanya dirasakan untuk sementara,dan ini menerangkan keharusan eskalasi sesudah hanya beberapa batang rokok. Sesudah rasa ingin tahu dipuaskan oleh rokok pertama, sang perokok akan mengulangi kembali tindakannya hanya bila ketak-nyamanan fisik dapat dikalahkan oleh keuntungan psikososialnya. Bila ini cukup kuat untuk menghasilkan pengulangan- pengulangan, sekalipun menghadapi ketidak-nyamanan, maka perilaku merokok akan dapat dipastikan menjadi tertanam karena efek-samping ini dengan cepat akan menghilang.
Meneruskan merokok
Pada tahap-tahap pertama seorang merokok sekali-sekali dan terbatas pada situasi atau peristiwa sosial, tetapi dengan meningkatnya konsumsi rokok dan karena orang itu mulai menyedot (inhalasi) semakin dalam, maka efek nikotin akan memainkan peranan yang semakin penting. Merokok sekarang bukan lagi demi pergaulan, tetapi menjadi sesuatu yang dilakukan teratur. Sesudah beberapa tahun, dengan meningkatnya kedewasaan dan kematangan sosial, dampak nikotin sudah mengambil alih kesinambungan kebiasaan ini. Bila asupan nikotin tinggi maka muncullah suatu dorongan baru yang amat keras - yaitu yang bertujuan mencegah atau mengatasi efek-efek penarikan. Rasa lesu dan ketagihan dengan seketika dilenyapkan, atau dihindarkan terjadi dengan mengisap rokok; inilah yang menyebabkan terjadinya pengganjaran berulang yang memperkuat terjeratnya seseorang pada ketergantungan. Jadi umumnya seseorang menjadi perokok bukan karena mereka ingin terlihat 'gagah' atau 'dewasa' , atau karena 'kebanyakan temannya merokok', tetapi hanya karena mereka sudah terbelenggu pada nikotin. Walaupun hampir semua perokok ingin berhenti, hanya sedikit yang berhasil. Beberapa alasan lemahnya motivasi untuk berhenti dibandingkan dengan untuk terus merokok telah jelas diuraikan pada waktu mereka belajar merokok. Kebanyakan perokok tidak siap untuk meninggalkan kebiasaan merokok itu, hingga suatu saat motifnya untuk berhenti merokok diperkuat oleh paksaan keadaan, misalnya gangguan kesehatan, krisis keuangan atau pindah kelingkungan bebas asap-rokok.
Berhenti merokok
Banyak perokok yang mencoba berhenti dan sebagian berhasil, setidaknya untuk sementara waktu, tanpa memerlukan adanya pengobatan khusus. Sekitar 15 persen dari perokok dalam populasi ditemukan berhenti sesudah 2 tahun, walaupun kemudian banyak pula yang kembali merokok. Bagi kaula muda, biaya merupakan sebab utama, tetapi pada orang berumur masalah kesehatan menjadi penyebab utama, khususnya karena gejala-gejala yang sangat mengganggu seperti batuk dengan pendek napas. Konsekwensi fatal yang lebih jangka panjang jarang menjadi alasan seorang berhenti merokok, karena banyak perokok yang menganggap dirinya tidak termasuk kelompok berisiko. Banyak perokok yang dapat puasa merokok beberapa hari atau minggu tanpa kesulitan besar, tetapi bila suatu saat menemukan stres atau bila dipengaruhi lingkungan teman-teman yang merokok dengan mudah terbujuk kembali untuk merokok.
'Mengobati' ketergantungan rokok
Tidak mungkin rasanya memberikan terapi individual kepada semua perokok. Agar suatu terapi bisa bermanfaat secara masal dan nasional, upaya ini harus sederhana dan mudah dilakukan. Dan ini nampaknya belum ada tanda-tanda akan ditemukan, walaupun permen kunyah nikotin dan metode merokok cepat telah menunjukkan beberapa harapan. Penemuan akan suatu metode yang mampu dan kuat masih belum berhasil diteliti sekalipun berbagai metode ekstrim telah pernah dicoba. Misalnya, suatu percobaan terkontrol menunjukkan bahwa paket 10 kali mengikuti terapi aversi listrik masing-masing 45 menit, walaupun lebih baik daripada tak ada terapi samasekali, ternyata tidak lebih efektif daripada 10 kali sesi penunjang dengan jangka waktu cuma 15 menit. Manfaat tidak langsung justru berasal dari faktor-faktor non spesifik, seperti kehadiran di klinik, atensi dari terapis, dan kegiatan mencatat konsumsi rokok. Tidak ada efek spesifik dari sok listrik tersebut. Kenyataan ini memang diamati pada beberapa metode terapi perilaku lainnya. Demikian pula, obat-obatan ternyata tidak lebih bermanfaat dibandingkan dengan plasebo, seperti halnya pendekatan-pendekat an perilaku dan farmakologis yang lebih teoretis tidak lebih berhasil daripada terapi kelompok yang diberikan pada klinik-berhenti- merokok umumnya. Namun apapun metodanya, sekalipun kesuksesan awalnya 30 atau 80 persen, penyelidikan lanjutan setahun kemudian menunjukkan bahwa tak lebih dari 15-25 persen dari sampel semula yang masih bertahan tak merokok.
Relaps atau kambuhnya tabiat merokok biasanya terjadi pada 3 bulan pertama, suatu hal yang juga ditemukan dalam terapi pecandu alkohol dan heroin.
Remaja merokok karena meniru atau ikut-ikutan?
Masa remaja, kata banyak orang, disebut sebagai masa pancaroba sekaligus masa paling indah dalam perjalanan hidup manusia modern. Dimasa inilah seseorang mulai melepaskan diri dari masa kekanak-kanakannya dan terkadang sudah langsung merasa dirinya dewasa. Maka mereka rela mencoba sesuatu hanya demi merasa atau membuktikan dirinya sudah mampu atau dewasa, kadang-kadang tanpa banyak pertimbangan. Misalnya mengendarai mobil, minum alkohol dan merokok. Sekalipun mereka tahu itu ada bahayanya, tetapi kalau tidak dilakukan merasa belum pantas jadi seorang yang dewasa atau masuk kedalam pergaulan. Menurut tulisan Hiru Muhamad dalam sebuah harian ibukota, remaja itu merokok dan mau menantang maut. Kalau ditanya gunanya merokok, mereka hanya jawab untuk gaul, walaupun mereka sadar akan efeknya bagi kesehatan bagi paru-paru dan kemungkinan impoten. [1] Ada anggapan di kalangan remaja, kalau merokok mereka bisa terlihat lebih ‘macho.’ Karena itu tidak heran, bila kita melihat banyak remaja berusia 12-18 tahun di kota-kota besar sedang merokok di tempat-tempat umum, termasuk di lingkungan sekolah sekalipun. Sungguh memprihatinkan bila mengingat dampak buruk dari kebiasaan merokok itu akan dibawa terus sampai belasan atau puluhan tahun kemudian saat mana mulailah muncul penyakit-penyakit yang menyiksa. Dan pada saat itulah, baru timbul penyesalan, mengapa dulu dia memulai kebiasaan ini, dan mengapa tidak mau berhenti, sekalipun sudah menyadari bahayanya.
Pengaruh tontonan film Hollywood
Sudah terlalu sering kita dengar perkataan ‘ Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kesehatan lainnya,’ seperti tercantum dalam peringatan dalam bungkus rokok ataupun dalam ceramah-ceramah antirokok. Namun ternyata, peringatan itu tidak berhasil ‘menyadarkan’ atau mencegah orang untuk tetap mengisap rokok. Anjuran itu bisa jadi hanya dianggap enteng sambil meneruskan kebiasaan merokoknya. Walaupun demikian , kita berharap bahwa orang yang membacanya akan mengurangi kebiasaan merokoknya. Tetapi apakah hanya sampai mengurangi saja ? Mungkin hanya hal ini saja yang termasuk paling masuk akal bisa diterima sebagian pecandu rokok, kendati persentase dan angka persisnya cukup sulit diraba serta diharapkan. Ironisnya, tatkala pemerintah (termasuk yang di luar negeri) begitu gencar mengumandangkan peringatan sejenis dalam berbagai bentuk, jumlah perokok sepertinya tidak mau berkurang ,malah terus-terusan bertambah, Hal ini diakibatkan tidak lain oleh munculnya para perokok-perokok muda yang boleh kita sebut anak-anak setingkat SMP. Seiring dengan era pergaulan baru dan masa puber, remaja-remaja yang biasanya didominasi kaum laki-laki ini, memang ‘penyelamat’ buat produsen rokok dimanapun mereka berada.
Sangat banyak sekali faktor-faktor yang menjadi penyebab remaja mulai coba-coba merokok, namun salah satunya ada kaitan dengan dunia akting, dimana perilaku merokok para aktor dan aktris khususnya dalam sebuah film, ternyata punya pengaruh yang cukup besar bagi penonton.. Demikian menurut tulisan yang kami kutip dari sebuah majalah film di tanah air beberapa waktu lalu. [2] Sebuah penelitian di Amerika bahkan secara mengejutkan menyebut bahwa selebritis tenar seperti Brad Pitt, Leonardo DiCaprio, John Travolta merupakan orang-orang yang didakwa punya pengaruh kuat dalam membuat jutaan pemuda Amrik ketagihan rokok. Moviegoers barangkali masih belum lupa ketika John Travolta asyik merokok dalam Michael, Broken Arrow atau Face Off untuk menyebut beberapa contoh. Kemudian Brad Pitt yang memang dianggap simbol macho termasuk sering ketangkap basah merokok seperti dalam film True Romance, Fight Club, Snatch dan masih banyak lagi. Adapun DiCaprio kendati luput dari pengamatan, namun mulutnya kerap akrab dengan tembakau seperti dalam film Basketball Diaries, Titanic hingga The Beach. Jika mau berekspansi, deretan bintang film yang juga termasuk gemar merokok di film-filmnya yaitu Johnny Depp, Sean Penn, Mickey Rourke, Anthony Hopkins, Chow Yun Fat dan perwakilan aktrisnya Sharon Stone. Siapapun pasti terkesan dengan gaya merokoknya dalam film Basic Instinct.
Menurut penelitian yang dilakukan Dartmouth College , sebagian besar siswanya yang belum pernah merokok sebelumnya, mengaku tergiur untuk mengikuti perilaku merokok bintang film idolanya setelah menonton satu atau lebih film mereka. Penelitian serupa juga pernah dilakukan di sekolah New Hampshire dengan melibatkan 5 tim peneliti serta responden sebanyak 632 siswa yang terbagi antara umur 10-19 tahun. Mudah diduga hasilnya pun ternyata tidak jauh berbeda alias menempatkan aktor/aktris pemeran utama sebagai salah satu faktor penyebab mereka mulai merokok. Dengan kata lain, pertunjukan merokok dari para bintang punya kontribusi tinggi terhadap minat perokok pemula.
Fakta lain yang juga cukup membuat miris dari penelitian-peneliti an tersebut yaitu bahwa diantara 178 film yang dianalisa dan dirilis pada tahun 1994 sampai 1996 saja, rupanya nama DiCaprio, Travolta dan Sharon Stone, masing-masing muncul dalam 4 film dimana mereka ketahuan merokok minimal dua kali per filmnya. Data-data ini memang yang paling diekspos, namun sutradara sekaligus sineas beken Rob Reiner, sempat terganggu dengan penelitian yang sedikit banyak menyinggung bidang profesinya. Menurutnya, meskipun ada adegan merokok, sesungguhnya para pembuat film pada umumnya punya pretensi yang sangat kecil untuk menonjolkan rokok. Tapi komentar tersebut belakangan cukup mentah ketika disodorkan bukti adanya unsur sponsor perusahaan rokok yang kerap terlibat.
Diluar ada faktor bisnis and pembelaan diri dari kecaman masyarakat, yang jelas fenomena merokok dalam industri film dekade terakhir ini dikategorikan mengalami masa ‘comeback’. Padahal, sejak era Humhrey Bogart dan Lauren Bacall yang dianggap biang keladi perokok dulu, urusan hisap menghisap rokok sempat mengalami penurunan di tahun 60, 70 and 80an. Seperti yang diutarakan profesor Stanton Glantz dari University of California San Fransisco, Hollywood makin tercemar karena ulah merokoknya para bintang yang ditambah unsur terselubungnya bisnis. Tapi Glantz juga menambahkan bahwa hal tersebut justru bagusnya tidak terjadi di dunia pertelevisian, yang nota bene ditonton oleh nyaris semua golongan usia dan sudah pasti bisa mengundang sorotan ekstra tajam. ‘Cukup melegakan dan selayaknya ditiru dalam film bioskop, komentar profesor dan pakar kesehatan yang satu ini.
Jangan biarkan mereka merokok.
Dalam tulisan itu ditanyakan kepada salah seorang remaja di SMU di Jakrta Selatan,’ Kenapa sih merokok?’ Dan jawabnya ‘ Wajar, dong, ikut perkembangan jaman.’ Kan udah gede, laki-laki lagi.’ Begitu jawaban dari seorang pelajar lainnya yang ditanyai di pusat perbelanjaan blok M, Jakarta Selatan. Mereka dengan enteng mengaku sudah biasa merokok sejak beberapa tahun silam’ Mereka mengaku sudah melakukannya sejak dibangku SLTP. Kedua siswa yang ditanyai itu mengaku bisa menghabiskan sebungkus sehari. ‘Kalau di rumah, orang tua sudah tahu, jadi nggak dilarang, abis udah gede,’ kata si anak sambil memainkan rokok putih ditangannya. Sebagaimana pelajar lainnya, mereka tetap dilarang merokok didalam lingkungan sekolah. Bahkan keduanya pernah ditegur oleh gurunya karena tertangkap basah membawa rokok didalam tasnya.’ Tapi itu tergantung dari gurunya. Kalau orangnya asyik paling cuma ngomong aja.’ Keduanya mengakui kalau sang guru juga kerap merokok didepan siswanya. Namun saat ditegur oleh siswanya dalam sebuah dialog, mereka hanya menjawab ,’ Jangan samakan guru dengan murid.’
Mereka sebenarnya sudah mengetahui risiko buruk bagi kesehatan tubuh bila merokok di usia muda. Pengetahuan itu mereka peroleh dari pelajaran Bimbingan Penyuluhan di sekolah, Namun tampaknya gaya pergaulan khas anak muda lebih banyak mempengaruhi diri mereka ketimbang nasehat gurunya. Mereka merasa yakin dengan merokok, segala keruwetan masalah yang dihadapi bisa menjadi lebih ringan. ‘Kalau lagi stres ngerokok itu enak, abis ulangan, juga abis makan,’ katanya. Remaja perokok berat. Itulah kenyataan yang ada di sekitar kita semua. Pada saat usia belia, banyak remaja di kota-kota besar sudah tercemar kebiasaan merokok, yang seharusnya mereka hindari. Jadi kesimpulannya, kebanyakan perokok meneruskan kebiasaannya karena mereka sudah terjerat pada adiksi nikotin. Kecanduan ini amat sulit meninggalkan diri seorang perokok, seperti halnya kecanduan obat bius. Akan tetapi kenyataan bahwa ada sekelompok masyarakat yang menemukan keberhasilan memberi harapan bahwa suatu saat akan ditemukan cara-cara bagi kelompok sosial lainnya agar tidak terlalu tergantung lagi pada perilaku merokok. Cara-cara inilah yang perlu diteliti dan dikembangkan melalui kerjasama para pakar dalam bidang kedokteran, sosial, psikologi maupun disiplin ilmu lainnya.
Fuad Baradja
Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM-3) Jakarta.