Oleh: Tulus Abadi
Kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik John McCain menyampaikan lelucon yang tidak lucu. Ketika wartawan bertanya perihal ekspor rokok Amerika ke Iran, yang meningkat 10 kali lipat saat George W Bush berkuasa, McCain menjawab: "Mungkin ini suatu jalan untuk membunuh mereka (orang-orang Iran)".
Kendati ucapan itu diralat dan dianggap guyonan saja, toh secara empiris tidak mampu menyembunyikan sebuah fenomena bahwa Amerika Serikat menjadikan negeri lain sebagai "keranjang sampah nikotin". Rasanya Indonesia juga tidak luput dari fenomena itu, bahkan bisa lebih dahsyat. Saat Philip Morris mengakuisisi 94 persen saham PT HM Sampoerna, seharusnya jangan dilihat dari perspektif ekonomi saja.
Tetapi, dalam konteks Indonesia, yang melakukan "pembunuhan massal" atas masyarakat Indonesia ternyata bukan hanya dari bangsa lain; tetapi yang lebih dominan justru dilakukan oleh bangsa sendiri, Pemerintah Indonesia. Logikanya di mana? Jika pada 1995 produksi rokok hanya 199.450 miliar batang, maka 10 tahun kemudian (2005) meningkat menjadi 235.500 miliar batang. Itulah buktinya. Akibatnya, kini konsumsi rokok di kalangan remaja dan anak-anak Indonesia merupakan tercepat di dunia. Prevalensi merokok di kalangan remaja laki-laki umur 15-19 tahun meningkat 139,4 persen selama 1995-2004; dari 13,7 persen menjadi 32,8 persen. Perokok perempuan pun pada kelompok umur yang sama meningkat lebih dari enam kali lipat.
Miskin
Tingginya jumlah perokok pada rumah tangga miskin juga sangat merisaukan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 membuktikan, konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau menduduki rating kedua (12,43 persen), setelah konsumsi padi-padian (19,30 persen). Jadi, untuk keperluan tembakau keluarga miskin mengalokasikan 15 kali lipat dari keperluan daging (0,85 persen), 5 kali lipat dari keperluan susu dan telur (2,34 persen), 8 kali lipat dari keperluan pendidikan (1,47 persen), dan 6 kali lipat dari keperluan kesehatan (1,99 persen. Perilaku semacam ini jelas keblinger.
Mengapa hal itu terjadi dan bahkan mengalami eskalasi yang amat luas? Secara minimalis fenomena dipicu oleh dua hal, yaitu; pertama, oleh iklan, promosi, dan pola penjualan rokok yang amat gencar. Kedua, cukai dan harga rokok yang amat rendah. Rokok adalah adiktif dan in-inelastik, tak diiklankan dan dipromosikan pun pasti laku keras. Sifatnya yang "candu" akan menimbulkan ketergantungan dan diburu oleh penggunanya. Ironisnya, iklan dan promosi rokok begitu gencar. Di media massa, menurut AC Nielsen Media Research, belanja iklan rokok menduduki rating kedua sebesar Rp 1,6 triliun (2006) dan rating ketiga besar Rp 1,5 triliun pada 2007.
Kesalahan fatal berikutnya, rokok diposisikan sebagai 'produk normal' laiknya bahan pangan. Harganya pun murah meriah, bandingkan dengan harga pangan yang terus melonjak. Cukai rokok yang rendah, bahkan terendah di dunia setelah Kamboja, mengakibatkan rokok begitu gampang diakses oleh anak-anak, remaja, dan orang miskin. Cukai rokok di Indonesia hanya 37 persen (Kamboja 20 persen), sementara rata-rata di dunia lebih dari 60 persen. Lebih konyol lagi, cukai rokok hanya dieksploitasi sebagai pendapatan negara saja, padahal cukai adalah sin tax alias "pajak dosa". Seharusnya, cukai digunakan sebagai instrumen untuk pengawasan dan pembatasan produk yang dikenai cukai. Pada titik inilah pemerintah secara diametral melanggar UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai, karena tidak melakukan pengawasan dan pembatasan penjualan produk rokok. Seharusnya sekian persen cukai rokok didedikasikan untuk upaya promosi kesehatan (earmarking tax).
Regulasi
Kendati permasalahan begitu gawat, toh Pemerintah bergeming, tak sedikit pun beranjak dari "penjara abadi" yang diciptakan industri rokok. Seharusnya pemerintah menginisiasi sebuah regulasi yang komprehensif untuk melindungi warga negaranya.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tak juga digubris; sekalipun FCTC telah menjadi hukum internasional dan 157 negara telah meratifikasinya. Di kawasan Asia, Indonesia satu-satunya negara yang "cuek bebek" dengan FCTC: tidak menandatangani dan meratifikasinya, hingga kini. Padahal, Pemerintah Indonesia menjadi salah satu drafting committee FCTC.
DPR setali tiga uang. Kendati Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau telah didukung oleh 258 anggota DPR (41 persen), toh Badan Legislasi DPR emoh memasukkan RUU tersebut ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2008-2009, dengan alasan belum mempunyai "urgensi nasional". Padahal, syarat untuk menjadi RUU inisiatif DPR cukup 13 persetujuan anggota DPR.
Berpijak dari fakta dan fenomena tersebut, maka menjadi suatu kewajaran (keharusan) jika advokasi masyarakat sipil terhadap isu tembakau di Indonesia kian mengeras. Bukan lagi berupa penyuluhan terhadap bahaya rokok, mengadakan klinik berhenti merokok atau pengobatan gratis penyakit akibat merokok. Lebih dari itu, sekelompok masyarakat sipil kini melakukan gugatan ke pengadilan, dan yang menjadi tergugat pun tidak tanggung-tanggung, yakni Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dasar Normatif
YLKI bersama Forum Warga Kota Jakarta/FAKTA, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok/LM3 dan Koalisi untuk Indonesia Sehat/KuIS; pada 19 Juni 2008 telah mendaftarkan gugatan legal standing di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Perkara No 204/Pdt.G/2008/ PN.Jkt.Pst) .
Pertanyaannya, selain fakta-fakta sosiologis-ekonomis di atas adakah dasar normatif yang dilanggar oleh kedua institusi itu, sehingga harus digugat?
Secara normatif mengapa mereka digugat? Pertama, secara konstitusional hidup sehat dan sejahtera adalah hak setiap warga negara (Pasal 28 huruf A dan H ayat 1, UUD '45). Bahkan, hak semacam ini lebih dipertegas lagi dalam berbagai peraturan perundangan seperti, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 9, 11, 12); Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal 7, 11 ayat 1 dan 12 ayat 1); dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Pasal 9, 44 ayat 1-2). Tetapi, nyatanya, hak yang paling asasi ini justru dinegasikan negara, yang, bukan saja tidak memfasilitasi warganya untuk mencapai derajad 'sehat dan sejahtera', tetapi justru melakukan pembiaran terhadap generasi sekarang dan mendatang oleh dampak merusak tembakau.
Kedua, dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat agar pemerintah dan DPR membuat suatu regulasi untuk pengendalian tembakau sangat kuat. Selain dari kalangan LSM, juga masyarakat secara langsung. Dukungan itu se- tidaknya tercermin pada hasil survei yang dilakukan oleh Quick Global Strategies. Survei ini dilakukan pada Mei-Juni 2008, melibatkan 1.200 responden, berusia di atas 18 tahun, di delapan kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Intinya, responden berpendapat, pertama, lebih 91 persen mendukung usulan agar Indonesia meratifikasi FCTC. Hanya 9 persen responden yang menolak. Kedua, 97 persen mendukung pemasangan label peringatan ke- sehatan dengan gambar pada kemasan rokok dan 96 persen mendukung perlunya iklan untuk menginformasikan kepada publik mengenai dampak negatif rokok.
Ketiga, dukungan pada pelarangan iklan rokok (88 persen), peningkatan cukai rokok (88 persen), serta pelarangan merokok di tempat kerja (86 persen). Selebihnya, tiga dari empat orang Indonesia (77 persen) mengatakan bahwa konsumsi rokok di Indonesia kini sudah mengkhawatirkan.
Pada tataran inilah, gugatan legal standing kepada presiden dan DPR mempunyai landasan yang cukup absah, baik dari sisi normatif, ekonomis, dan sosiologis. Tujuan gugatan ini adalah meminta presiden dan DPR segera membuat regulasi yang komprehensif untuk memproteksi warga negaranya dari dampak merusak tembakau.
Penulis adalah anggota Pengurus Harian YLKI dan Ketua Bidang Advokasi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau
(Sumber : Suara Pembaruan, edisi Rabu, 16 Juli 2008)