Ibu Negara Ny Ani Bambang Yudhoyono meminta semua pihak agar memembebaskan anak-anak dari bahaya asap rokok. Apabila anak-anak terlindungi maka mereka akan sehat dan bisa mengemban amanat untuk masa depan, sebagai generasi bangsa masa depan.
Ibu Ani menyampaikan hal itu dalam sambutannya di depan anak-anak sekolah dasar, SMP dan SMA pada peringatan hari tanpa tembakau sedunia di Isatan Negara Jakarta Jumat (30/5) siang. Anak-anak sekolah itu mengenakan kaos putih bertuliskan "peringatan hari tanpa tembakau sedunia".
Dalam acara itu Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono sempat menanyakan kepada anak-anak, siapa yang merokok di antara mereka. Anak-anak menyahut, "nggak ada". Tetapi karena jawaban mereka tidak kompak, Ibu Ani mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, sampai anak-anak menjawab dengan kompak dan serentak "tidak ada".
Pada kesempatan itu Ibu Ani menyoroti Perda Pemda DKI tentang larangan merokok di tempat umum. Menurut dia, Perda itu tidak berjalan optimal karena tidak adanya perhatian dari aparat terkait di Pemda DKI Jakarta. Meski demikian, dia meminta Pemda DKI terus menyosialisadsikan Perda larangan merokok di tempat umum itu agar masyarakat dengan sadar tidak merokok.
Menurut Ani Yudhoyono, tembakau mengandung beberapa zat kimia antara lain nikotin, tar, arsenik, dan zat-zat berbahaya lainnya. Oleh karena itu, jadikanlah bebas rokok sebagai budaya hidup kita.
Pada kesempatan itu juga tampil penyanyi Gita Gutawa. Dia membawakan lagu "Sempurna" pada kahir acara yang berlangsung 2,5 jam tersebut.
34,5 Persen
Hasil penelitian terbaru menyebutkan, 34,5 persen anak jalanan berusia 10 tahun ke atas telah kecanduan merokok. Survei itu dilakukan pada anak-anak yang hidup di sepanjang rel kereta api jurusan Jakarta-Bogor, berkaitan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia Tahun 2008 yang bertema Remaja Bebas Rokok.
"Dalam penelitian itu juga terungkap, 34,5 persen anak jalanan dari 398 anak yang terjaring survei tersebut mengaku tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD, hanya 40 persen yang tamat SD," tutur Direktur Tobacco Control Support Center (TSCS), Widyastuti Soerojo, di Jakarta, Kamis (29/5).
Survei yang dilakukan TCSC, Indonesian Public Health Association (IAKMI), dan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), itu menunjukkan, anak jalanan yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak tetap atau kurang dari Rp 20.000 per hari, namun lebih dari 20 persennya dibelikan rokok.
"Ironisnya lagi, 12,7 persen anak jalanan itu hanya menjadi pengemis, namun sudah kecanduan merokok. Dan kebutuhan rokok ini akan terus meningkat karena rokok adalah adiktif," ucap Widyastuti.
Dia mengungkapkan, pengeluaran tersebut hanya sedikit lebih rendah dari belanja rokok keluarga miskin yang konsumsinya rata-rata 10 batang per hari. Kalau harga rokok dihitung Rp 500 per batang, berarti dalam sebulan anak jalanan menghabiskan Rp 150.000 per bulan, ini berarti lebih besar dari dana bantuan langsung tunai (BLT) senilai Rp 100.000.
Menurutnya, studi kasus pada anak jalanan usia 10-18 tahun di jalur rel kereta api jurusan Jakarta-Bagor awal Mei lalu itu menyajikan potret buram lingkaran setan kemiskinan dan konsumsi zat adiktif yang tidak tanggung-tanggung telah melanda remaja di seluruh Nusantara tanpa pandang bulu.
Ternyata, ketidaktahuan dan pendapatan harian yang kecil dan tidak tetap bukan halangan bagi 61 persen dari 398 anak jalanan untuk mengonsumsi rokok. Remaja laki-laki yang usaianya 13 -15 tahun dan hidupnya sebagai anak jalanan lebih banyak mengonsumsi rokok hingga 41,3 persen dibandingkan remaja usia sebayanya yang duduk di bangku sekolah 24,5 persen.
Terus Meningkat
Berdasarkan data nasional yang diterbitkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diketahui hampir 80 persen remaja mulai merokok pada usia kurang dari 19 tahun, dan terus meningkat dari 64 persen pada 1995 menjadi 69 persen pada 2001.
Sedangkan mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Kartono Muhammad menyarankan, pemerintah mendukung Framework of Convention on Tobacco Control (FCTC) yang menjadi dasar hukum internasional yang kuat untuk mengontrol peredaran tembakau dan rokok di seluruh dunia.
Dalam konvensi itu, ditandatangani ketentuan yang terkait dengan masalah rokok, terutama larangan penjualan rokok bebas di sembarang tempat, termasuk kepada remaja berusia di bawah 18 tahun. Dukungan itu diperlukan mengingat Indonesia merupakan negara konsumen rokok terbesar kelima di dunia dengan tingkat konsumsi rokok 215 miliar batang per tahun. [E-5/A-21]
Sumber : Suara Pembaruan, 31 Mei 2008.