Monday, June 23, 2008

Pemerintah dan DPR Digugat: Pengobatan Akibat Rokok Rp 127 Triliun Setiap Tahun

Koalisi LSM Anti-Rokok menggugat Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, karena dinilai telah melakukan pembiaran terhadap kejahatan rokok yang merugikan masyarakat. Dari rokok, negara mendapat uang pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH) sebesar Rp 32 triliun per tahun, tetapi akibat dampak rokok, negara mengeluarkan biaya pengobatan sangat besar, yakni Rp 127 triliun per tahun.

Hal itu diungkapkan Ketua Fakta, Azas Tigor Nainggolan, seusai mendaftarkan gugatan terkait rokok terhadap pemerintah dan DPR di pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (19/6). Gugatan tersebut diajukan empat organisasi, yakni Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), dan Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS). Sebelum memasukkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Koalisi LSM tersebut melakukan aksi unjuk rasa di Istana Negara. Menurut Tigor Nainggolan, sesuai data survei yang mereka lakukan, dampak merokok bagi kesehatan dan kesejahteraan rumah tangga Indonesia sangat memprihatinkan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah membelanjakan sekitar 12 persen pendapatannya untuk membeli rokok, bahkan 2/3 penerima bantuan langsung tunai (BLT) membelanjakan lebih besar dari yang diterimanya untuk membeli rokok. Survei terakhir juga menunjukan 61 persen anak jalanan di sepanjang jalur kereta api Jakarta-Bogor adalah perokok aktif.

Sebelumnya, aktivis Anti-Rokok, Fuad Baradja, saat diskusi interaktif tinjauan sosial dan agama tentang rokok di Jakarta, Kamis mengatakan, pemerintah dan DPR selama ini tidak menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk melindungi warga negaranya dari bahaya merokok. Menurutnya, sikap pemerintah yang hingga saat ini tidak mau meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan bukti keberpihakan pemerintah terhadap industri rokok dibandingkan masyarakat yang menjadi korban.

"Bayangkan saja, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi FCTC. Ini kan keterlaluan, '' katanya.

Dia mengatakan, pemerintah yang seharusnya bertugas melindungi masyarakat dengan menyosialisasikan bahaya merokok, justru membiarkan iklan-iklan di berbagai media massa tanpa kontrol, sehingga masyarakat dibiarkan tetap bodoh dan tidak mengerti mengenai bahaya merokok baik dari sisi ekonomi terutama lagi kesehatan.

Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, mengatakan, pemerintah dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bertanggung jawab secara moral untuk melindungi masyarakat dengan segera meratifikasi FCTC.

Meski demikian, Imam sendiri masih belum terlalu yakin pemerintah dapat dan mau untuk meratifikasi konvensi pengontrolan rokok tersebut, karena kuatnya lobi dari industri rokok di pemerintahan dan partai-partai politik. Ekspansi rokok di Indonesia, kata Imam, sangat bebas dan tidak ada control dari pemerintah. Jika di negara-negara lain sangat ketat mengontrol peredaran rokok khususnya di kalangan remaja dan anak-anak, tetapi di Indonesia kontrol itu sama sekali tidak ada.

Tidak adanya kontrol terhadap industri rokok, sambung Imam, karena selama ini pemerintah terjebak dalam perspektif yang keliru yang hanya melihat industri rokok sebagai penyumbang cukai bagi negara dan jumlah pekerjaan yang diperoleh.

Namun anehnya, pemerintah tidak pernah berpikir mengenai berapa orang yang sudah mati, sakit, dan miskin, karena rokok.


Mitos

Menurut data tahun 2005, kata Imam, konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, yakni mencapai 220 miliar batang dalam setahun. Imam meminta pemerintah dan segenap elemen masyarakat agar tidak memanjakan lagi industri rokok, yakni dengan menaikkan cukai rokok dan melarang iklan-iklan rokok di media massa.

Ancaman hilangnya pekerjaan akibat bakal hengkangnya industri rokok kalau dilakukan pengontrolan, menurut Imam, merupakan mitos yang sengaja didengungkan untuk menakut-nakuti pemerintah dan masyarakat.

"Pengalaman dari negara-negara lain, tidak ada perusahaan rokok yang bangkrut jika peredaran rokok dibatasi. Memang produksi akan berkurang tetapi untung industri rokok masih tetap triliunan rupiah," ujar Imam.

sumber: SUara Pembaharuan Daily