Monday, January 7, 2008

Pemerintah Didesak Meratifikasi FCTC

Pemerintah Indonesia didesak segera meratifikasi kerangka kerja konvensi mengenai pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Selain karena secara historis Indonesia ikut membuat draft FCTC, hal itu juga sangat penting untuk melindungi kesehatan masyarakat dari dampak buruk tembakau atau rokok.
Demikian disampaikan pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, dan mantan Menteri Kesehatan, Farid Anfasa Moeloek, secara terpisah, di Jakarta, Rabu (2/1) dan Kamis (3/1).

FCTC telah disetujui 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Mei 2003. Tujuan dari FCTC adalah melindungi masyarakat dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi akibat konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau.
Kini FCTC telah menjadi hukum internasional dan 137 negara telah meratifikasinya. Satu-satunya negara di Asia yang belum menandatanganinya adalah Indonesia.

Menurut Tulus, Indonesia belum meratifikasi FCTC karena tekanan dari industri rokok, dan ketidaktahuan pemerintah mengenai perincian FCTC. Kalangan industri rokok khawatir, apabila FCTC ditandatangani, mereka bakal merugi. Oleh karenanya mereka berdalih, ribuan petani tembakau akan kehilangan pasar, bakal ada pemutusan hubungan kerja, dan pemerintah akan kehilangan triliunan rupiah dari cukai rokok.

Tulus mengungkapkan, apabila Indonesia meratifikasi FCTC, pendapatan pemerintah akan meningkat. Sebab, aturan FCTC memungkinkan pemerintah mengenakan cukai rokok melebihi 50 persen dari harga jual. Dengan mengenakan cukai rokok 30 persen dari harga jual, cukai rokok di Indonesia terendah kedua setelah Laos. "Thailand saja mengenakan pajak rokok 70 persen dari harga jual," ungkapnya.

Dia menambahkan, minimal ada dua hal yang sangat dikhawatirkan industri rokok apabila pemerintah meratifikasi FCTC, yaitu kebijakan cukai tinggi dan larangan menyeluruh terhadap promosi rokok.

Pemerintah Terjebak

Secara terpisah, Imam Prasodjo menilai, pemerintah tidak memiliki visi dan kepedulian untuk melindungi rakyatnya, terutama anak-anak dan remaja, dari bahaya rokok. Dia juga menilai pemerintah terjebak dalam lingkaran setan industri rokok nasional yang terus-menerus mencekoki generasi muda dengan rokok, yang merupakan pintu masuk pergaulan bebas dan narkotika.

Imam, yang juga Ketua Yayasan Nurani Dunia itu mengungkapkan, laporan The ASEAN Tobacco Control Report Card tahun 2007 menyebutkan, jumlah perokok di ASEAN mencapai 124,691 juta orang. Indonesia menyumbang perokok terbesar yakni 57,563 juta orang, atau 46,16 persen.

Di sisi lain, jumlah orang yang meninggal akibat penyakit yang bersumber dari rokok di dunia lebih 5 juta orang. "Negara ASEAN menyumbang kematian hampir 20 persen, dan yang terbesar tentu Indonesia. Ini sungguh menyedihkan," ujar Imam.

Menurutnya, jebakan yang dibuat oleh industri rokok berhasil menakut-nakuti pemerintah, antara lain dengan mengatakan jika FCTC ditandatangani, akan mengganggu perekonomian nasional. Padahal, berbagai penelitian di negara yang telah menerapkan FCTC menyebutkan, kontrol terhadap peredaran tembakau berpengaruh positif bagi kesehatan masyarakat dan perekonomian negara.

"Negeri ini telah dikuasai gurita pengusaha rokok. Mereka mengeruk keuntungan di atas kematian dan terpuruknya kesehatan rakyat. Pemerintah terus terjebak dan tidak memiliki visi keluar dari lingkaran setan ini," ujar Imam.

Sementara itu, Farid Anfasa Moeloek berpendapat, laporan Majalah Forbes yang menempatkan tiga pengusaha rokok nasional dalam daftar orang terkaya di Indonesia, seharusnya membuka mata pemerintah, bahwa mereka hidup berkelimpahan harta dari kemaksiatan dan kematian anak-anak bangsa ini.

Farid menjelaskan, dalam FCTC, setiap negara harus menetapkan kawasan bebas rokok, kenaikan cukai rokok, penghapusan iklan rokok di media massa, serta mencantumkan peringatan bahaya merokok pada setiap bungkus rokok dengan mencantumkan gambar orang yang terkait dengan bahaya merokok, seperti kanker. "Indonesia baru mencantumkan bahaya merokok melalui peringatan dalam bentuk teks," jelasnya. [DLS/E-5]

sumber: SUARA PEMBARUAN DAILY