Petani berdemonstrasi, mungkin tak aneh lagi terjadi di negara yang menghormati kebebasan berekspresi. Hanya menjadi pertanyaan, apakah benar kepentingan mereka yang terganggu sehingga memicu aksi tersebut?
Pertanyaan tersebut mampir di benak para aktivis pengendalian dampak tembakau, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (30/9). Para aktivis yang tergabung dalam Tobbaco Control Support Centre (TCSC) menduga ada pihak lain yang menunggangi aksi tersebut.
Seperti diketahui, ratusan petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) berunjuk rasa pada Rabu (29/9). Tegas, mereka menolak rekomendasi terbaru yang dikeluarkan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control World Health Organization/FCTC WHO). Yaitu, pasal 9 dan 10 mengenai larangan penggunaan bahan lain selain daun tembakau dalam produk tembakau.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTI Abdus Setiawan menegaskan, jika diberlakukan akan menghancurkan sumber pendapatan jutaan petani tembakau dan cengkeh Indonesia. "Selain itu, juga bisa mengancam kelestarian industri kretek nasional," katanya.
Dia perkirakan di Indonesia, rekomendasi tersebut dapat mengakibatkan dua juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh kehilangan mata pencaharian.
Keprihatinan petani ditunjukkan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu Krisnamurthi pada aksi tersebut. Dia mengatakan, sesuai UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budaya Tanaman, petani dibebaskan untuk menanam tanaman yang mereka inginkan.
Kekhawatiran serupa juga didengungkan mereka ketika Kementerian Kesehatan menelurkan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Bahkan mereka menolak RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan.
Kedua peraturan tersebut segendang seirama, yaitu menerapkan kebijakan fiskal dengan nilai yang besar untuk mengurangi konsumsi rokok.
Para aktivis TCSC menyesalkan aksi tersebut. “Kekhawatiran petani tak cukup beralasan karena FCTC tak akan menggangggu kesejahteraan mereka,” ujar salah satu aktivis Kartono Mohammad dalam konferensi pers, Kamis (30/9).
Dia sebutkan, Pasal 9 dan 10 FCTC mensyaratkan bahwa industri rokok harus mengungkapkan secara terbuka kepada pemerintah, bahwa ada sekitar 600 zat adiktif berbahaya dalam rokok. “Hanya keharusan produsen menyampaikan informasi kesehatan yang harus diketahui pemerintah. Tidak ada kaitan dengan petani,” lanjut mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia itu.
Kekhawatiran petani juga dinilai berlebihan karena Indonesia belum pernah meratifikasi konvensi yang lahir pada 2008. Berarti apa yang tertuang dalam FCTC tak mengikat bagi pemerintah Indonesia. Hingga saat ini sudah terdapat 172 negara yang telah menandatangani konvensi tersebut.
Sementara Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, kedua pasal FCTC menjamin hak dasar konsumen mendapatkan informasi lengkap kandungan produk setiap batang rokok. “Ini hak konsumen, mengapa petani menolak,” ujar Tulus.
Pendapat kedua aktivis dikuatkan dengan hasil penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia yang disampaikan satu peneliti pada kesempatan tersebut, Abdillah Ahsan.
Penelitian dilakukan pada tiga provinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur tahun 2008. Ketiga provinsi adalah produsen tembakau terbesar dengan kontribusi 89 persen produk tembakau nasional. Tujuan penelitian adalah mengetahui kondisi sosial ekonomi buruh tani dan petani pengelola, hubungan kerja dengan industri rokok dan pendapat petani tentang pengalihan usaha pertanian.
Kesimpulan penelitian adalah, petani tembakau belum menikmati tingkat kesejhateraan yang setara dengan melonjaknya produksi rokok dan keuntungan industri. Sedangkan upah rata-rata buruh tani perbulan Rp413 ribu setara dengan 47 persen upah rata-rata nasional.
Petani, lanjut Abdillah, memiliki posisi tawar rendah terhadap industri rokok. Itu terjadi karena kualitas dan harga tembakau ditetapkan pembeli, sedangkan petani tak mengetahui standar kualitas yang ditentukan.
Keuntungan petani pengelola, rata-rata Rp1juta per bulan selama empat bulan masa tanam tak seimbang dengan risiko usaha. Serupa kegagalan panen karena iklim, serangan hama, turunnya harga dan kewajiban membayar utang.
Menurut Abdillah, hasil penelitian menunjukkan dua dari tiga petani dan buruh tani ingin beralih usaha karena tingginya ketidakpastian. “Pemerintah harus memfasilitasi petani beralih ke komoditas pertanian lain yang lebih menguntungkan,” sarannya.
sumber: hukumonline.com